Suaradesa.co, Bojonegoro – Di tengah rimbun hutan jati yang membentang di wilayah Bojonegoro bagian selatan, ada satu menu ekstrem yang mungkin membuat sebagian orang mengernyitkan dahi: katimumul.
Serangga kecil berwarna cokelat yang sering hinggap di pohon ini justru menjadi santapan sehari-hari bagi warga sekitar, terutama saat musim penghujan tiba.
Maimunah (52), warga Desa yang berbatasan langsung dengan hutan, bercerita bagaimana katimumul menjadi bagian dari tradisi turun-temurun.
“Dulu waktu saya masih kecil, ibu saya sudah biasa memasak katimumul. Rasanya gurih dan renyah, apalagi kalau digoreng kering. Sampai sekarang, anak-anak saya pun doyan,” tuturnya sambil tersenyum.
Menurut Maimunah, katimumul biasanya ditangkap pada malam hari menggunakan lampu sebagai perangkap.
Warga akan menaruh baskom berisi air di bawah cahaya, dan serangga itu berjatuhan dengan sendirinya.
“Kalau musimnya pas, sekali nangkap bisa dapat satu baskom penuh. Itu bisa dimasak untuk sekeluarga,” jelasnya.

Olahan katimumul beragam, mulai digoreng kering, ditumis dengan cabai, hingga dijadikan campuran sambal. Bagi warga tepi hutan, makanan ini bukan sekadar pengganjal perut, tetapi juga simbol kedekatan dengan alam.
Meski bagi sebagian orang dianggap ekstrem, bagi Maimunah dan warga lainnya, katimumul justru menjadi sumber protein alternatif yang murah meriah.
“Kalau beli lauk di pasar kan butuh uang. Katimumul ini tinggal cari, gratis. Dan rasanya enak,” tambahnya.
Tradisi makan katimumul hingga kini masih lestari di desa-desa tepian hutan Bojonegoro bagian selatan. Sebuah warisan kuliner yang unik, sekaligus mencerminkan bagaimana masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.(rin/him)







