Berita UtamaSerba Serbi

Dilema Guru Di Tengah Pandemi

124
×

Dilema Guru Di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini

Menjadi guru di tengah Pandemi Covid-19 tidak semudah yang dibayangkan. Ada kesulitan dan tantangan tersendiri.

Salah satu teman saya mengalaminya. Setiap hari, dia harus menyiapkan materi untuk pembelajaran online.

Pembelajaran online ternyata lebih sulit dibanding pembelajaran tatap muka. Mengajar daring membutuhkan konsentrasi lebih tinggi.

Bayangkan, dengan segala keterbatasan harus memberikan materi pelajaran. Seperti sinyal yang kerap ngadat karena jaringan tidak bersahabat.

Suatu ketika saat pembelajaran berlangsung listrik tiba-tiba padam. Pembelajaran terpaksa harus berhenti. Sebab, tidak ada sinyal wi-fi di sekolah.

Padahal, pembelajaran sedang seru-serunya karena semua siswa antusias. Kondisi itu menjadi ambyar . Peristiwa seperti itu tidak akan terjadi pada pembelajaran tatap muka.

Ada lagi kendala lainnya. Misalnya, ada orang tua murid yang tidak bisa menggunakan ponsel android. Kondisi itu menjadi hambatan tersendiri karena menyita waktu.

Baca Juga :  Luas Lahan Tembakau di Bojonegoro Meningkat

Pembelajaran online ternyata tidak bisa dilakukan sekaligus dalam waktu yang sama untuk semua siswa satu kelas karena harus menyesuaikan waktu dimana orang tuanya ada di rumah. Karena pembelajaran online untuk siswa SD harus didampingi orang tua.

Misalnya, orang tua yang bekerja pagi maka dia tidak bisa mendampingi anaknya di pagi hari. Sehingga, harus membagi waktu. Mana yang harus belajar di pagi, siang atau sore.

Guru SD harus kreatif. Bisa semua mata pelajaran. Sebab, materi pelajaran SD adalah tematik. Gabungan untuk semua mata pelajaran (mapel). Sehingga, guru juga harus memiliki kreatifitas yang tinggi. Itu supaya semua muridnya yang rata-rata masih anak-anak tidak bosan. Dan tetap bisa menerima materi pelajaran.

Baca Juga :  Inilah Penerima BLT Daerah di Bojonegoro

Orang tua harus disemangati agar tetap mendukung anak-anaknya tetap ikut pelajaran. Supaya menjadi pintar walau berada di rumah.

Suasana yang berbeda membuat tanggungjawabnya sebagai guru berkali-kali lipat. Selain memberikan materi pelajaran, juga harus memberikan peringatan agar anak-anak tidak terlalu banyak bermain dan memanfaatkan teknologi dengan baik.

Beban moral dan tanggung jawab besar, seakan-akan terhempas dengan opini yang berkembang.

“Enak ya, jadi guru, makan gaji buta”.

Sedih, gregetan, dan rasa marah campur aduk dalam hati jika ada yang mengatakan itu.

Tapi, dia tetap bertahan. Fokus demi pendidikan yang berkualitas bagi anak didiknya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *