Oleh : Yulika Gita Rahayu Ningtyas
Suaradesa.co, Bojonegoro – Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai arena komunikasi utama bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Setiap hari, jutaan kata lahir menyebar dan mati di media sosial. Kata-kata itu muncul dalam bentuk status, komentar, caption, dan lain sebagianya hingga potongan kalimat pendek yang sekilas tampak remeh tetapi diam-diam membentuk cara kita berbahasa.
Pernahkah kalian menggunakan bahasa media sosial atau bahasa gaul di kehidupan sehari-hari? tentu saja pernah bukan.
Tentunya media sosial tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga memengaruhi bagaimana kita memilih kata, menyusun kalimat, bahkan mengekspresikan emosi dan sikap.
Jika dahulu bahasa berkembang melalui sastra, pidato, dan media cetak, kini bahasa tumbuh subur di ruang digital yang bergerak cepat, instan, dan viral.
Tentunya kita juga mempunyai gawai yang tak lepas dari aktivitas sehari-hari, karena gawai sudah menjadi kebutuhan pokok pada zaman ini.
Kita sering sekali menggunakan untuk melihat berbagai dunia di luaran sana, dan tentu saling berinteraksi dengan berbagai bahasa.
Bahasa tidak pernah berada dalam ruang hampa. Ia selalu bergerak, berubah, dan menyesuaikan diri dengan konteks sosial tempat ia digunakan.
Dalam sejarahnya, perubahan bahasa sering kali dipengaruhi oleh peristiwa besar: kolonialisme, modernisasi, globalisasi, hingga perkembangan teknologi komunikasi.
Hari ini, media sosial menjadi kekuatan paling dominan yang membentuk cara manusia bertutur, menulis, dan berinteraksi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan yang semakin relevan : apakah bahasa media sosial hanya mencerminkan cara kita bertutur, atau justru mengubah secara fundamental cara kita berbahasa dan berpikir?
Bahasa yang digunakan di media sosial dapat dipandang sebagai representasi nyata dari kebiasaan berbahasa masyarakat kontemporer.
Media sosial sering dianggap sebagai cermin budaya berbahasa masyarakat, terutama generasi muda.
Unggahan, komentar, dan interaksi digital lainnya merefleksikan cara individu mengekspresikan gagasan, emosi, dan sikap sosial.
Penggunaan istilah populer seperti fomo, ngab, red flag, green flag, bjir, BU, flexing, toxic, cegil, bucin, gabut, galgah, mokel dan masih banyak yang lainnya dalam percakapan sehari-hari menunjukkan bahwa media sosial telah menjadikan istilah-istilah yang awalnya populer di komunitas digital menjadi bagian dari komunikasi lisan sehari-hari bahkan di luar dunia maya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa media sosial mencerminkan kecenderungan sosial dalam penggunaan Bahasa apa yang populer, apa yang lucu, apa yang emosional, sampai apa yang relevan pada waktu tertentu.
Di samping mencerminkan budaya berbahasa, media sosial juga berfungsi sebagai agen perubahan linguistik yang signifikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa komunikasi digital mendorong penyederhanaan struktur kalimat, penggunaan singkatan, serta praktik campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Perubahan ini terjadi karena karakteristik media sosial yang menuntut kecepatan, efisiensi, dan daya tarik visual.
Bahasa yang digunakan di media sosial memiliki kaitan erat dengan pembentukan identitas sosial, khususnya di kalangan generasi muda. Pilihan kata, gaya bahasa, dan penggunaan istilah tertentu berfungsi sebagai penanda keanggotaan sosial dan afiliasi kelompok.
Bahasa digital menjadi sarana untuk menegaskan keberadaan diri sekaligus membangun solidaritas dalam komunitas virtual. Penelitian tentang bahasa generasi muda menunjukkan bahwa bahasa media sosial berperan penting dalam membentuk rasa kebersamaan dan identitas kolektif di ruang digital.
Identitas ini sering kali berbeda dari identitas yang dibangun dalam konteks komunikasi formal atau tradisional.
Begitu juga perubahan bahasa yang dipicu oleh media sosial tidak dapat dilepaskan dari dampak positifnya.
Media sosial membuka ruang bagi kreativitas linguistik yang luas. Pengguna bebas menciptakan istilah baru, permainan kata, dan bentuk ekspresi yang inovatif.
Selain itu, media sosial mempercepat proses evolusi bahasa. Kosakata baru dapat tersebar secara luas dalam waktu singkat, sehingga bahasa menjadi lebih responsif terhadap perubahan sosial dan budaya.
Fenomena ini juga mendorong terjadinya globalisasi bahasa, di mana unsur-unsur bahasa asing diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam bahasa lokal.
Kalau dari sudut pandang linguistik, kondisi ini menunjukkan bahwa bahasa bersifat adaptif dan hidup, selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan penuturnya.
Di balik dampak positif tersebut, perubahan bahasa di media sosial juga menghadirkan sejumlah tantangan. Salah satunya adalah menurunnya sensitivitas terhadap penggunaan bahasa baku dalam konteks formal.
Kebiasaan menggunakan bahasa informal secara terus-menerus berpotensi memengaruhi kemampuan individu dalam menggunakan bahasa sesuai kaidah.
Selain itu, penyebaran kesalahan ejaan dan struktur kalimat dapat terjadi secara masif karena sifat media sosial yang cepat dan minim penyuntingan. Jika tidak diimbangi dengan literasi bahasa yang memadai, kondisi ini dapat berdampak pada menurunnya kualitas komunikasi akademik dan profesional.
Tantangan lainnya adalah potensi terpinggirkannya kosakata bahasa Indonesia yang baku akibat dominasi istilah asing dan slang digital. Hal ini menuntut perhatian serius dari pemerhati bahasa dan dunia pendidikan.
Berbagai paparan tersebut, apakah bahasa media sosial cermin atau pengubah cara bertutur kata?. Dapat disimpulkan bahwa bahasa media sosial memiliki sifat ganda.
Ia berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan kebiasaan berbahasa masyarakat, sekaligus sebagai pengubah yang membentuk kebiasaan baru melalui mekanisme digital dan algoritmik.
Relasi antara bahasa dan media sosial bersifat timbal balik. Bahasa membentuk interaksi digital, sementara interaksi digital membentuk bahasa.
Dengan demikian, perubahan bahasa di era media sosial merupakan fenomena yang kompleks dan tidak dapat dipahami secara linear.
Bahkan pada tahun 2024, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menargetkan total 200.000 lema (kata atau frasa) di KBBI, dan target ini telah terlampaui pada pemutakhiran April 2025.
Bahasa media sosial menuntut cara baru dalam memandang literasi bahasa. Literasi tidak hanya berarti menguasai aturan bahasa baku, tetapi juga mampu memahami situasi penggunaan bahasa serta menyesuaikan gaya bahasa dengan konteks yang berbeda secara tepat.
Fenomena ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai ancaman terhadap bahasa baku, melainkan sebagai tantangan dan peluang untuk memahami perkembangan bahasa secara lebih komprehensif.
Dengan kesadaran linguistik yang memadai, bahasa media sosial dapat 7diposisikan sebagai bagian dari kekayaan bahasa yang terus berkembang, tanpa mengabaikan pentingnya ketepatan dan kesantunan dalam berkomunikasi.(fa/him)







