Oleh: Nurdiana, Ibu Rumah Tangga
Suaradesa.co, Tulungagung – Berita tentang ambruknya masjid di Pondok Pesantren Al Khozini benar-benar mengguncang hati saya sebagai seorang ibu.
Setiap kali melihat wajah-wajah santri di layar televisi, tubuh mungil mereka dibalut kain putih, air mata saya tak bisa ditahan.
Dalam hati kecil saya, tergambar jelas wajah anak saya sendiri—yang pernah mondok selama dua tahun. Saya tahu betul, bagaimana kehidupan di pondok: hangat tapi penuh perjuangan, jauh dari keluarga tapi dekat dengan Allah SWT.
Tragedi ini membuat banyak orang tua takut dan ragu. Kekhawatiran itu wajar. Kita semua ingin anak-anak kita aman di mana pun mereka belajar.
Namun di balik kesedihan itu, saya merenung: apakah musibah ini harus membuat kita menjauh dari pesantren? Apakah kita harus menutup pintu bagi pendidikan agama hanya karena rasa takut?
Saya tidak ingin begitu. Karena saya tahu, mondok bukan sekadar belajar mengaji atau menghafal kitab. Di pondok, anak-anak belajar disiplin, tanggung jawab, kesabaran, serta hidup sederhana.
Mereka belajar menghargai waktu, berbagi dengan sesama, dan mengerti arti syukur. Nilai-nilai itu tidak semua bisa diperoleh dari sekolah formal.
Saya masih ingat, ketika pertama kali melepas anak saya mondok—air mata saya jatuh tanpa henti. Tapi dua tahun kemudian, ia pulang dengan tutur kata yang lebih lembut, hati yang lebih tenang, dan ibadah yang lebih teratur.
Saat itu saya sadar, pesantren bukan tempat yang menakutkan, tetapi tempat yang menempa—dengan cinta dan doa.
Musibah di Al Khozini menjadi pelajaran besar bagi kita semua. Kita perlu lebih memperhatikan aspek keselamatan bangunan, pengawasan fasilitas, serta kesiapsiagaan pengelola pesantren.
Tapi di sisi lain, kita juga harus menjaga hati agar tidak kehilangan kepercayaan pada pendidikan agama. Sebab ilmu agama bukan sekadar pelajaran, melainkan kebutuhan jiwa yang menuntun anak-anak kita menjadi manusia berakhlak.
Sebagai orang tua, tugas kita adalah menuntun, bukan menakuti. Menenangkan anak-anak yang mungkin ikut cemas, dan meneguhkan bahwa setiap langkah menuntut ilmu adalah ibadah, meskipun kadang diiringi ujian.
Saya percaya, setiap musibah membawa pesan. Mungkin ini cara Allah mengingatkan kita agar lebih berhati-hati, lebih waspada, namun tetap istiqamah dalam berjuang di jalan ilmu.
Dan bagi saya pribadi, setelah semua ini, rasa percaya itu tidak hilang.
Saya tetap yakin, mondok adalah jalan terbaik untuk membentuk hati dan karakter anak—karena dari pesantrenlah lahir generasi yang kuat bukan hanya pikirannya, tapi juga imannya.
Seperti diketahui, tragedi memilukan terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Senin (29/9/2025). Bangunan mushola yang sedang direnovasi tiba-tiba ambruk saat ratusan santri melaksanakan salat Asar berjamaah.
BNPB memperkirakan ada 63 jenazah yang tertimbun dalam reruntuhan Ponpes. Saat ini, BNPB menyebut telah ditemukan 61 jenazah dalam bentuk utuh dan 7 body parts. Saat ini kondisi area ponpes yang ambruk telah rata dengan tanah sehingga diperkirakan kecil kemungkinan masih ditemukan jenazah di lokasi. (red)
Catatan : Tulisan ini merupakan catatan reflektif seorang ibu yang pernah memiliki anak mondok selama dua tahun. Opini ini ditulis sebagai bentuk empati dan harapan pasca musibah ambruknya masjid di Pondok Pesantren Al Khozini.







