Oleh: Melina Fatimah Azzahra (mf.a)
Suaradesa.co- Demokrasi di Indonesia pada tahun 2025 menghadapi tantangan besar, salah satunya terletak pada peran pers yang seharusnya menjadi pilar kebebasan dan pengawal transparansi. Pers dipercaya sebagai penyampai kebenaran dan penjaga keterbukaan informasi.
Namun, realitasnya, pers justru kerap melukai publik melalui pemberitaan yang sensasional, bias, atau bahkan sarat kepentingan. Luka publik dalam luka pers ini menjadi cermin rapuhnya demokrasi sekaligus ujian bagi kedewasaan bangsa dalam menjaga ruang kebebasan.
Kontroversi dan Konflik dalam Berita
Data paruh pertama 2025 menunjukkan adanya 625 pengaduan masyarakat terkait pemberitaan media—angka tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Kritik banyak diarahkan kepada media daring yang mengedepankan judul berlebihan (clickbait), minim verifikasi fakta, hingga mencampuradukkan opini dengan fakta.
Tidak jarang, media dianggap menjadi corong kepentingan politik atau pemilik modal. Alih-alih memberi pencerahan, media justru memperkeruh situasi sosial-politik.
Ironisnya, jurnalis yang berada di garda terdepan pencarian informasi juga sering menjadi korban.
Kasus di Serang, Agustus 2025, ketika sejumlah jurnalis diserang secara brutal saat meliput demonstrasi, menjadi bukti bahwa kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya menyerang individu, tetapi juga merobek kebebasan pers sebagai pilar demokrasi.
Media Sosial dan Polarisasi Informasi
Di sisi lain, media sosial memperlebar luka publik dengan derasnya hoaks dan konten rekayasa.
Demo besar di DPR pada Agustus 2025 memperlihatkan bagaimana informasi palsu dapat menyulut ketegangan dan membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu yang saling berseberangan.
Pemerintah bahkan harus meminta platform digital untuk menekan penyebaran hoaks demi menjaga ruang publik tetap sehat.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana luka yang bermula dari pers dengan cepat membesar di media sosial, menimbulkan polarisasi yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi, sekaligus memperlebar keretakan sosial.
Refleksi Demokrasi dan Kebebasan Pers
Secara normatif, kebebasan pers telah dijamin dalam UU No. 40 Tahun 1999. Namun, praktik di lapangan sering kali menunjukkan bahwa pers masih berada dalam tekanan politik, bisnis, maupun sosial.
Pada peringatan Hari Pers Nasional 2025, banyak pakar mengingatkan kembali bahwa integritas jurnalistik adalah benteng terakhir untuk menjaga martabat demokrasi.
Pers dituntut untuk kembali kepada jati dirinya: menyampaikan fakta objektif, menjaga keterbukaan, dan menjadi perekat keberagaman bangsa. Karena itu, sinergi antara pemerintah, Dewan Pers, akademisi, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memperkuat literasi media sekaligus mendorong pers yang profesional dan bermoral.
Perlindungan dan Peningkatan Kompetensi
Dewan Pers telah berupaya memperkuat kualitas jurnalistik dengan meningkatkan jumlah wartawan tersertifikasi hingga lebih dari 12.900 orang.
Selain itu, pengawasan terhadap pelanggaran etika pun terus dilakukan. Namun, tanpa perlindungan nyata terhadap jurnalis dari ancaman kekerasan dan intimidasi, demokrasi akan tetap rapuh.
Luka publik yang lahir dari luka pers harus dibaca sebagai alarm. Demokrasi bukan hanya soal mekanisme politik, melainkan juga tentang bagaimana pers mampu menjaga kepercayaan publik dan merawat kohesi sosial. Bila pers kehilangan integritas, maka demokrasi akan kehilangan ruhnya.
Tahun 2025 ini seharusnya menjadi momentum refleksi: apakah pers ingin tetap menjadi sumber luka atau kembali ke jalan mulia sebagai pengawal kebenaran dan perekat bangsa? Jawabannya akan menentukan arah demokrasi Indonesia ke depan.(red)







