Features

Gong Tua Kembali Bernyanyi di Glagahwangi

×

Gong Tua Kembali Bernyanyi di Glagahwangi

Sebarkan artikel ini

 

Gong Tua Kembali Bernyanyi di Glagahwangi
Revitalisasi Alat Musik Tradisional oleh Mahasiswa KKN-TK 23 Unigoro

Suaradesa.co, Bojonegoro – Suara gemuruh pelan terdengar dari sudut Balai Desa Glagahwangi, Senin siang (11/8/2025). Sebuah gong besar, yang lama terdiam dan tertutup debu, perlahan kembali bergetar. Bukan hanya getaran logamnya yang terasa, tapi juga denyut kebanggaan warga yang mengalir bersama setiap pukulannya.

Hari itu, sekelompok mahasiswa dari Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-TK) 23 Universitas Bojonegoro memulai misi sederhana namun sarat makna: menghidupkan kembali alat musik tradisional desa. Gong, kenong, dan instrumen lain yang menjadi simbol identitas seni budaya Glagahwangi dibersihkan, diperbaiki, dan—yang terpenting—diperkenalkan lagi kepada generasi muda.

“Kami melihat banyak anak-anak yang bahkan belum pernah memegang gong, padahal ini warisan desa yang luar biasa,” ujar salah satu anggota KKN, sambil mengelap permukaan kenong yang mulai mengilap.

Bersama para sesepuh dan pelaku seni lokal, para mahasiswa tidak hanya memulihkan kondisi fisik alat musik, tetapi juga menyalakan kembali api kecintaan pada kesenian.

Anak-anak desa diajak mencoba memukul gamelan, mendengar kisah sejarahnya, hingga belajar memainkan tabuhan sederhana. Suasana penuh tawa dan rasa ingin tahu mengisi ruangan.

Menurut warga, alat-alat musik itu dulunya selalu hadir dalam setiap acara adat dan hajatan desa. Namun, seiring berkembangnya zaman dan maraknya hiburan modern, suara gamelan mulai jarang terdengar.

“Kalau tidak dikenalkan lagi, bisa hilang begitu saja,” kata salah satu sesepuh desa dengan nada penuh harap.

Kegiatan ini bukan sekadar memperbaiki benda tua, tetapi menghidupkan kembali memori kolektif. Di tengah derasnya arus modernisasi, revitalisasi ini menjadi semacam jembatan antara masa lalu dan masa depan.

Gong yang sempat terdiam kini punya kesempatan untuk kembali bersuara di acara-acara adat, festival desa, bahkan mungkin di panggung yang lebih besar.

Bagi mahasiswa KKN-TK 23, pengalaman ini lebih dari sekadar pengabdian masyarakat. Ini adalah pelajaran tentang akar budaya, tentang bagaimana menjaga sesuatu yang tak ternilai agar tetap hidup di hati orang-orangnya. “Kami berharap setelah kami pulang, musik ini tetap dimainkan, bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk menjaga jati diri desa,” ucap salah satu mahasiswa.

Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, tabuhan gong menggema sekali lagi. Suaranya dalam, mengalun, seakan menjadi janji: bahwa warisan ini tak akan pernah dibiarkan membisu lagi.(red)