Suaradesa.co, Bojonegoro – Di tengah perbukitan tandus Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, ratusan sumur minyak tua peninggalan Belanda masih berdiri kokoh.
Seperti mata air tua yang terus diperah harapannya, sumur-sumur ini menjadi sumber penghidupan bagi mayoritas warga setempat. Namun kini, denyut ekonomi dari perut bumi itu mulai melemah, seiring mandeknya kontrak kerja sama PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) dengan Pertamina.
Di bawah terik matahari, bau minyak mentah dan suara gemuruh pompa masih terdengar dari kejauhan. Sebanyak 247 sumur minyak tradisional masih aktif beroperasi hingga tahun 2024, meskipun produksi hariannya terus menurun. Jika tahun lalu rata-rata produksi mencapai 400 barel minyak per hari (BOPD), kini hanya separuhnya—sekitar 200 BOPD.
“Dulu bisa bawa pulang lebih, sekarang hanya cukup buat bertahan hidup,” ujar Mulyono (52), salah satu pengelola sumur tradisional, sambil membersihkan pipa besi yang mulai berkarat.
Ketergantungan yang Mengakar
Wonocolo bukan hanya dikenal sebagai desa tambang, tetapi juga cagar budaya yang menyimpan sejarah panjang industri minyak bumi Indonesia.
Sumur-sumur tua di desa ini merupakan warisan kolonial yang dikelola secara turun-temurun oleh warga. Sekitar 70 persen penduduk setempat menggantungkan hidupnya dari hasil tambang ini.
Namun kini, kabar mengejutkan datang dari DPRD Bojonegoro. Dalam rapat Badan Anggaran, para legislator menyayangkan kinerja PT BBS—BUMD andalan daerah—yang justru gagal mengembangkan bisnis di kampung halamannya sendiri.
Kontrak kerja sama BBS dengan Pertamina untuk pengelolaan sumur tua Wonocolo resmi diputus.
“Kami prihatin. Seharusnya BUMD bisa jadi tumpuan. Tapi justru terlihat tak mampu mengelola potensi lokal,” ujar salah satu anggota Banggar DPRD Bojonegoro, Sally Atyasasmi.
Bukan Sekadar Angka
Menurut Muhammad Ali Imron, Manajer Proyek PT BBS, produksi minyak pada kuartal pertama tahun 2023 masih mencapai lebih dari 65 ribu barel, dengan rata-rata 204,95 BOPD. Namun tren menurun tak bisa dielakkan. Selain faktor alam, menurunnya daya dukung teknologi dan regulasi perizinan turut menjadi hambatan.
“Wonocolo ini unik. Bukan hanya sumurnya yang tua, tapi juga sistem pengelolaannya sangat bergantung pada kearifan lokal,” kata Imron saat diwawancarai tahun lalu.
Sayangnya, pengelolaan berbasis komunitas itu belum mendapat sentuhan optimal dari korporasi, baik dari aspek teknologi maupun pemasaran.
Bahkan, pengembangan kawasan sebagai wisata geopark seperti yang dirancang pemerintah daerah juga terhambat oleh isu lingkungan dan keterbatasan infrastruktur.
Harapan dan Kekhawatiran
Kini warga Wonocolo diliputi kecemasan. Penurunan produksi berarti berkurangnya penghasilan. Sementara pekerjaan alternatif belum benar-benar tersedia. Anak-anak muda pun mulai enggan meneruskan tradisi orang tua mereka menjadi penambang rakyat.
“Ada kekhawatiran besar. Kalau sumur ini mati, mata pencaharian kami juga ikut mati,” ujar Rasmi (56), ibu dua anak yang biasa membantu suaminya mengangkut minyak hasil tambang.
Di sisi lain, pengamat lingkungan mengingatkan agar aktivitas tambang tradisional di Wonocolo tak terus berlangsung tanpa evaluasi dampak ekologis. Kebocoran minyak, pencemaran tanah, hingga rusaknya ekosistem menjadi ancaman nyata.
Jalan Panjang Menjaga Warisan
Kisah sumur tua Wonocolo bukan hanya tentang minyak, melainkan juga tentang identitas dan sejarah masyarakat Bojonegoro. Jika tak ada langkah strategis dari pemerintah daerah maupun pengelola BUMD, tak hanya minyak yang kering, tapi juga harapan ribuan warga yang hidup dari tanah itu.
Bojonegoro masih punya waktu, namun tak banyak. Menyelamatkan Wonocolo berarti menjaga warisan, membuka peluang, dan memberi masa depan yang lebih pasti bagi generasi penerus.(rin)