Features

Merawat Akar Tradisi di Tengah Zaman: Sedekah Bumi Kepatihan di Tengah Satu Suro

×

Merawat Akar Tradisi di Tengah Zaman: Sedekah Bumi Kepatihan di Tengah Satu Suro

Sebarkan artikel ini

Suaradesa.co, Bojonegoro — Kala malam menjelang dan angin kemarau berhembus pelan menyusuri gang-gang sempit di Kelurahan Kepatihan, Bojonegoro, sebuah denyut budaya kembali hidup. Warga tumplek blek, tak sekadar berkumpul, tapi menyatukan doa dan harap dalam prosesi tahunan: Sedekah Bumi.

Tahun ini, nuansa terasa kian sakral. Tradisi yang sudah turun-temurun itu bertepatan dengan 1 Suro, penanggalan Jawa yang bersisian dengan 1 Muharram 1447 H—sebuah momentum yang diyakini membawa nilai spiritual ganda oleh masyarakat.

“Ini bukan hanya tentang tradisi, tapi juga penghormatan pada leluhur, pada bumi, dan pada kehidupan yang diberikan Tuhan,” ungkap Sutjipto Santoso, koordinator kegiatan yang telah lebih dari satu dekade menjadi penggerak budaya di wilayahnya.

Rangkaian acara dimulai Kamis, 26 Juni 2025, dengan khotmil Qur’an di Masjid Baitul Muttaqin. Suara lantunan ayat suci menggema, menjadi penanda bahwa segala doa baik dimulai dari kata yang suci. Keesokan harinya, Jumat, warga melanjutkan dengan “ndungo bareng”—doa bersama—di cungkup makam Sedeng, sebuah tempat yang diyakini menyimpan nilai sejarah dan spiritual masyarakat setempat.

Tak sekadar religius, acara ditutup dengan nuansa meriah Campursari, Sabtu malam, 28 Juni. Alunan musik Jawa klasik dan modern bercampur, menyatukan warga tua muda dalam harmoni budaya yang menyenangkan. Suara sinden berpadu gamelan menambah kehangatan malam di Kepatihan.

Sutjipto menegaskan, acara ini bukan seremonial semata.

“Ini bentuk kecintaan kami pada budaya lokal. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?” katanya, tegas namun hangat.

Sedekah Bumi bukan hanya tentang masa lalu yang dirayakan. Ia adalah pengikat sosial, spiritual, dan budaya—sebuah napas lokal yang terus dihembuskan, agar identitas tak larut dalam modernitas.(fa)