Suaradesa.co, Bojonegoro- Di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, terik matahari terasa membakar kulit. Kesunyian hanya dari desir angin ladang.
Tapi di sebuah rumah kayu sederhana, hari-hari tak pernah benar-benar sepi. Di sanalah motif-motif penuh filosofi Jawa tercetak di atas kain putih, digoreskan oleh tangan-tangan perempuan yang setia pada warisan budaya: batik.
Adalah Sekar Rinambat, kelompok kecil yang terdiri dari lima perempuan tangguh yang memilih membatik sebagai jalan hidup mereka. Di bawah pimpinan Tri Astuti (41), mereka bukan hanya melukis di atas kain, tapi juga menyulam kisah tentang kemandirian, perjuangan, dan cinta terhadap budaya lokal.
“Anggotanya dulu lima, kini sudah 10 orang dan kami tetap membatik setiap hari. Walau pesanan kadang pasang-surut,” ucap Tri, sembari mengoleskan kuas berisi warna ke selembar kain.
Kelompok ini tak lahir dari pabrik atau sekolah desain, melainkan dari pelatihan membatik yang digelar oleh Pertamina EP Cepu (PEPC) pada 2016.
Para perempuan tersebut, ikut pelatihan yang digelar PEPC—dan bukannya berakhir di sertifikat usang dalam laci, pelatihan itu mereka lanjutkan menjadi kegiatan harian yang produktif.
Tangan yang Terampil, Hati yang Tekun
Di rumah itu, metode batik cap dan batik tulis berpadu. Batik cap digunakan untuk motif dasar, sedangkan canting tetap digunakan bagi motif yang lebih detail. Warna demi warna dikucurkan perlahan, pewarna alami dan sintetis bergantian berpadu menjadi harmoni visual.
“Satu hari biasanya bisa menghasilkan tiga kain batik. Kalau musim seragam guru atau ada event besar, bisa lebih banyak,” jelas Tri.
Harga batik hasil produksi mereka bervariasi, dari Rp150.000 hingga Rp175.000 per potong, tergantung kompleksitas motif dan kualitas bahan. Hasil penjualan, walau tak selalu besar, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dan keluarga.
“Kain dan bahan lainnya masih kami ambil dari Solo. Tapi kami senang, karena bisa tetap berkarya dan mandiri,” kata Tri, senyum kecilnya menyiratkan keteguhan.
Batik dan Harapan
Kelompok Sekar Rinambat tak hanya memproduksi batik. Mereka juga membuat tas batik, walau belum menjadi fokus utama. Yang terpenting bagi mereka adalah tetap hidup dalam karya, tetap menjaga denyut budaya lokal di tengah arus produk instan yang deras mengalir ke desa.
Kisah mereka menjadi bukti bahwa seni tak harus megah untuk bermakna. Cukup selembar kain putih, sepenuh hati, dan satu keyakinan bahwa dari kampung kecil di Bojonegoro, warisan leluhur bisa tetap abadi.
Di tengah gemuruh dunia yang cepat berubah, Sekar Rinambat menjadi penanda bahwa yang bertahan adalah yang berakar kuat. Dan mereka—dengan canting di tangan dan mimpi di hati—adalah para penjaga akar itu.
“Batik bukan sekadar motif, tapi warisan. Kami hanya ingin tetap menenunnya—sampai generasi selanjutnya tahu bahwa Bojonegoro pernah punya perempuan-perempuan pembatik tangguh,” ujar Tri menutup percakapan. (red)