Bojonegoro – Menjelang bulan suci Ramadhan, wacana libur penuh sekolah selama bulan puasa kembali mencuat. Isu ini mencuri perhatian publik setelah Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo HR Muhammad Syafi’i mengisyaratkan adanya pembahasan mengenai kebijakan tersebut.
“Heeh (iya), sudah ada wacana (libur selama puasa). Oh kami belum bahas, tapi bacaannya kayaknya ada, tapi saya belum bahas itu,” ujar Syafi’i, Sabtu (18/1)
Namun, wacana ini memunculkan beragam pandangan, terutama terkait dampak dan efektivitasnya bagi siswa. Sebagai kebijakan yang akan berdampak langsung pada sistem pendidikan, berbagai faktor perlu dipertimbangkan sebelum rencana ini direalisasikan. Pemerintah dan pemangku kebijakan diharapkan mengkaji aspek kesiapan infrastruktur pendidikan, keberagaman kebutuhan siswa, serta efektivitas pembelajaran dalam kondisi yang berbeda.
Libur penuh selama Ramadhan dinilai berpotensi memengaruhi kebiasaan belajar siswa. Tanpa pengawasan yang memadai, libur panjang dapat mengurangi disiplin belajar dan, dalam jangka panjang, memengaruhi motivasi serta capaian akademik siswa. Sebagai alternatif, pembelajaran daring atau program pengayaan khusus selama Ramadhan dapat menjadi solusi untuk menjaga kesinambungan pendidikan sambil memenuhi kebutuhan spiritual siswa.
“Penting bagi kebijakan ini untuk tidak hanya berorientasi pada aspek religius semata, tetapi juga memperhatikan kualitas akademik yang menjadi fondasi kemajuan bangsa,” ujar seorang praktisi pendidikan.
Jika diterapkan, wacana libur penuh ini dapat menjadi peluang untuk mereformasi sistem pendidikan. Kebijakan yang adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman perlu dirancang agar siswa tetap dapat belajar secara efektif, meskipun dalam suasana Ramadhan.
Sebagai penutup, kebijakan libur penuh selama Ramadhan hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai upaya memperkuat nilai-nilai religius dalam pendidikan, tetapi juga sebagai langkah strategis untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berdaya saing.(red)