Suaradesa.co (Bojonegoro) – Zaman sudah berubah, dulu semua serba mudah,kini segalanya begitu susah. Dulu Bayar angsuran, arisan, kreditan apapun tanpa kesulitan. Sekarang untuk kebutuhan pangan saja harus jungkir balik sampai kliyengan.
Pandemi ini bak badai besar yang memporak-porandakan segala kenyamanan. Kini, yang tertinggal adalah rasa kekhawatiran apakah esok atau lusa masih ada peluang kerja untuk menafkahi Keluarga.
Saat ini, Masyarakat Desa tidak hanya sekedar mengalami kesusahan karena pandemi melainkan juga terbebani dengan mulai maraknya acara hajatan yang mengharuskan kita untuk hadir membawa Buwohan.
Buwohan adalah kegiatan apabila ada tetangga atau saudara kita yang mengadakan hajatan. Kita akan datang dan memberikan sumbangan entah berupa uang atau barang. Tradisi Buwohan ini juga di anggap sebagai upaya untuk mengembalikan kembali apa yang dulu pernah di beri.
Dulu, dalam keadaan apapun akan selalu ada cara dan upaya untuk menyiapkan Buwohan ini. Ini seperti kebutuhan wajib yang harus di jalani. Kalau tidak hadir memberikan Buwohan maka akan timbul rasa malu yang terdalam.
Lalu Bagaimana dengan Buwohan di masa pandemi ini? Puooll ajur ngelu ndase (membuat kepala pusing).
Bagaimana tidak “ngelu ndase“, orang hajatan tidak hanya satu dua orang tapi lusinan setiap bulan. Sana sini datang mengirim undangan. Sekali Buwohan harus menyiapkan modal ratusan. Semakin besar sumbangan yang dulu pernah diberikan maka akan menjadi kewajiban kita untuk mengembalikan sesuai dengan nominal yang sama.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan saja masih kesulitan. Apalagi sekarang harus menyiapkan modal untuk Buwohan. Buwoh rekoso ora buwoh kok Nelongso.
Inilah sebuah keadaan di mana tekanan hidup datang bertubi dan harus kuat dihadapi. Kalau tidak kuat, monggo di tinggal ngopi, dambil nyanyi, mangan sego menir rempelo ati. Bahagia atine, kuat imune, minggat koronane.
*Penulis adalah Certified Public Speaker’s dan Founder Wisata Edukasi Kampung Tumo