Suaradesa.co – Hanafi
Blora – Kenaikan harga kedelai di pasaran memberikan dampak bagi produsen tempe. Di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ada produsen yang memilih mengurangi porsi, agar bisa bertahan.
Marfu’ah, salah satu produsen mengeluhkan adanya dampak kenaikan. Bahkan, karena bahan baku melambung, akhirnya terpaksa berhenti memproduksi.
Meski demikian, warga Desa Purworejo, Kecamatan Blora, ada aktivitas pembuatan tempe.
Di dapur tampak ada satu ember kedelai yang direndam. Di bagian lain, juga berjajar tempe-tempe setengah matang. Dibungkus menggunakan plastik ukuran seperempat kilogram.
Ya, memang ada beberapa tahapan untuk mengolah makanan berbahan kedelai itu. Mulai perebusan, penirisan, hingga pemberian ragi.
”Kedelai direbus sampai mengembang. Minimal perebusan 8 jam. Paginya direbus kembali. Kemudian ditiriskan sampai memadat. Kalau sudah dingin nanti dikasih ragi. Kalau belum dingin tidak bisa,” jelasnya.
Dengan adanya kenaikan harga kedelai, ia mengaku resah. Sebab, tempe yang ia produksi dipasarkan di desa. Hendak ikut menaikkan harga, tapi tak bisa. Sebab, menurutnya bisa ada keluhan dari konsumen apabila harganya ikut naik.
”Orang desa kalau dinaikkan (harganya) sulit,” ujarnya.
Biasanya, setiap membeli satu sak kedelai berisi 50 kilogram. Sebelumnya, berada di harga Rp500 ribu. Kini mencapai Rp 555 ribu.
Untuk menyesuaikan harga bahan baku, ia pun memilih untuk mengurangi porsi dalam satu bungkus tempe. Satu kilogram kedelai, untuk satu kilogram tempe.
“Biasanya menjadi sekitar 20 bungkus tempe. Harga satu tempe sendiri sekitar Rp 800. (Hans)