Teguh Farida
Serba Serbi

Menguak Tren KBGO, Ancaman Baru yang Dianggap Remeh di Bojonegoro

1217
×

Menguak Tren KBGO, Ancaman Baru yang Dianggap Remeh di Bojonegoro

Sebarkan artikel ini
Himmatul Ulya
Himmatul Ulya

Bojonegoro – Memiliki penampilan tomboy tak membuat Himmatul Ulya, atau akrab disapa Lya, terhindar dari godaan lelaki.

Mengawali karir jurnalistik sebagai wartawati televisi lokal, wanita 34 tahun ini seringkali harus menghadapi situasi yang kurang menyenangkan, bahkan di tengah tugas jurnalistiknya.

Bermodal wajah manis dan pandai bersosialisasi, tak heran Lya menjadi pusat perhatian. Namun, perhatian itu tak selalu positif.

Narasumber hingga rekan sesama wartawan kerap kali mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang sensitif. Mulai ajakan ngopi, makan siang berdua hingga perjalanan keluar kota bukan hal asing baginya.

“Sering sih seperti itu, rata-rata narasumber dari semua kalangan. Kadang obrolannya menjurus ke hal intim, akhirnya ada ajakan makan atau keluar kota,” ungkap Lya, sambil tersenyum tipis.

Meski demikian, Lya selalu menolak ajakan tersebut dengan halus dan profesional.

“Alhamdulillah tidak ada yang sampai pada pelecehan fisik,” tambahnya.

Menjadi wartawan bagi ibu dua anak ini adalah tantangan yang penuh dinamika. Setiap hari, Lya bertemu dengan berbagai karakter orang.

Dari yang sopan hingga yang secara terang-terangan mengarah ke pembicaraan seksual.

“Kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan adalah berkumpul dengan wartawan lain di tempat nongkrong seperti warung kopi. Di situ, saya harus bertemu banyak laki-laki karena jumlah wartawan perempuan bisa dihitung jari,” kata Lya, menegaskan betapa jarangnya keberadaan wartawan perempuan di lapangan.

Baca Juga :  Banjir Pesanan, Produsen Peti Jenazah Kirim Barang Hingga Luar Daerah

Keberadaannya yang sering menjadi satu-satunya perempuan di tengah wartawan laki-laki tak jarang membuatnya menjadi sasaran candaan yang menjurus.

Namun, perempuan berkacamata minus ini memilih untuk tidak menanggapi candaan tersebut, menyadari bahwa menanggapi sekali saja bisa memancing reaksi yang lebih buruk.

Pengalaman menyedihkan juga pernah dialami Lya ketika mendampingi rekan wartawannya yang menjadi korban pelecehan oleh oknum pejabat.

“Rekan saya menangis karena oknum pejabat itu mengarahkan tangannya ke dada saat akan wawancara,” ceritanya.

Lya segera melaporkan kejadian tersebut kepada salah satu Organisasi Wartawan dan mendorong untuk melapor ke polisi. Namun, tanpa saksi lain, laporan itu tak membuahkan hasil.

Lulusan Institute Pertanian Bogor (IPB) ini juga pernah dimasukkan ke dalam sebuah grup yang penuh dengan kiriman video porno.

“Saya langsung keluar grup dan memprivasi nomor saya. Kaget sekali, banyak yang saya kenal di grup itu, tapi kok bisa-bisanya saya dimasukkan ke grup seenaknya dengan bahasan grup yang sangat menjijikkan dan melecehkan,” ujarnya dengan nada jengkel.

Tidak hanya itu, sering menerima stiker WhatsApp dengan gambar-gambar porno membuat Lya muak dan hampir memblokir pengirimnya, jika saja dia tidak mengingat bahwa masih membutuhkannya dalam hal peliputan.

Baca Juga :  Pameran Foto Jurnalistik 2021; Dalam Frame Sejarah dan Pemajuan Daerah

Menyadari tantangan yang dihadapinya, Lya tak segan-segan mengingatkan rekan wartawan perempuan lainnya untuk menjaga diri saat liputan.

“Lebih baik tidak menanggapi obrolan sekecil apapun tentang hal-hal yang sensitif dan selalu bersikap profesional. Sehingga, orang lain juga akan menghormati kita,” pesan Lya, menutup pembicaraan dengan penuh semangat.

Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bojonegoro, Tulus Adarma, mengatakan bahwa kekerasan berbasis gender online (KBGO) memang merupakan tren baru yang mungkin di kota besar menjadi perhatian tapi di daerah seperti Bojonegoro dianggap biasa.

“Padahal ini tidak biasa, itu juga merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan,”tukasnya.

KBGO tidak hanya menyasar wartawan perempuan, tetapi secara umum perempuan lebih dominan menjadi korbannya, baik dalam bentuk fisik maupun bentuk lainnya.

“KBGO sebagian besar menyerang kelompok rentan seperti anak perempuan dan kelompok minoritas,”lanjutnya.

AJI Bojonegoro pernah melakukan satu kajian dan mengadakan kegiatan safety holistic atau keamanan digital. Salah satunya adalah membekali teman-teman jurnalis atau wartawan untuk menjaga privasi secara online atau di internet.

Meski belum ada laporan resmi, Tulus yakin jika itu pernah terjadi pada rekan jurnalis perempuan di Bojonegoro. Bisa jadi karena merasa malu atau menganggap hal itu biasa karena dianggap sebagai candaan saja. (rin/na)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *