Sejarah Desa

Kutukan Raja dan Mimpi Mbah Panisih

225
×

Kutukan Raja dan Mimpi Mbah Panisih

Sebarkan artikel ini

Mbah Panisih

721 tahun lalu Sri Maharaja Narayya Sanggramawijaya Raja pertama Majapahit berbangga atas kesetiaan Sri Paduka Rajarsi terhadap sang Raja. Sri Paduka Rajarsi sebagai seorang Rsi (pertapa) bertahan dalam kehidupan yang sangat sederhana dan laku prihatin dengan mengenakan pakaian dari kulit kayu.

Sang Rsi ini pendeta istana menemani raja dalam perjuangan dan duka hingga menguatkan marwah kerajaan Majapahit. Dengan segala dukungan dan kesetiaan sang Rsi yang telah terbukti, Sri Maharaja Narayya Sanggramawijaya atau dikenal Dyah Wijaya, dikenal juga Raden Wijaya di serat pararaton, berinisiatif membuat dokumen resmi kerajaan sebagai apresiasi terhadap sang Rsi. Dokumen resmi kerajaan Majapahit kelak dikenal dengan prasasti Adan-adan.

Dokumen tersebut dipahat diatas lempeng tembaga sebanyak 17 lembar yang isinya soal penetapan pembebasan tanah (sawah) di Adan-Adan dari kewajiban membayar pajak. Desa Adan-Adan diangkat statusnya menjadi sebuah sima atau daerah perdikan atau daerah swatantra yang diberikan kepada Sri Paduka Rajarsi.

Tanah perdikan Adan-adan ini cukup luas dengan batas Desa Tinawun, Kawengan, Jajar, Patambangan, Tambar, Padasan, Punten, Rakameng, Kubwan agede (Kebo-gede), Paran, Panjer dan Sanda. Wilayah adan-adan tersebut sebagai tanah lungguh, sebagai hak untuk sang Rsi yang diberikan Dyah Wijaya raja pertama Majapahit. Sosok Rsi, Sri Paduka Rajarsi ini sosok yang masih misterius dalam catatan dokumen kerajaan Majapahit, tapi dugaan kuatnya ia akhirnya menetap hingga akhir hayat di adan-adan.

Untuk menguatkan hadiah pemberian wilayah swatantra kepada Rajarsi dan mewanti-wanti pihak lain agar tak mengubah keputusan Raja maka disertai sebuah kutukan yang mengerikan. Raja masa itu adalah perwakilan tuhan di dunia, ia separuh dewa yang sabdanya dipercaya sangat manjur. Kutukannya manjur dan menimpa siapa saja yang melanggar serta mengubah keputusan Raja.

Baca Juga :  Pemkab Bojonegoro Terima Piagam Penghargaan UHC Program JKN - KIS Tahun 2020.

Dokumen resmi Kerajaan Majapahit yang berisi Saphata yang
berarti sumpah atau kutukan ini juga tertulis di Prasasti Adan-adan. Tapi saphata atau kutukan tidak hanya tercatat di prasasti saja, tapi juga diikuti dengan upacara dan pembacaan mantra-mantra untuk menguatkan kutukan serta keputusan Raja atas hadiah swatantra.

Usai mantra-mantra dibacakan, usai upacara dilangsungkan maka kutukan berlaku sejak saat itu. Kutukan itu hidup dalam sebuah dokumen resmi kerajaan, ia bisa jadi hinggap di alam fikir yang mempercayai maupun tidak mempercayai. Ia timbul tenggelam melewati masa runtuhnya kerajaan dan munculnya kerajaan baru, tapi kutukan itu tetap tersimpan dalam lempeng-lempeng prasasti untuk kelak dibaca generasi berikutnya.

Isi kutukan dalam penetapan Desa Adan-adan adalah bagi siapa saja yang berani mengubah keputusan raja akan digigit ular, disambar petir, diterkam harimau, pecah kepalanya, keluar ususnya, dan kejatuhan api petir. Sebuah kutukan yang mengerikan, kutukan dari Dyah Wijaya raja pertama Majapahit.

691 tahun kemudian atau tepatnya di tahun 1992 di Dusun Ngijo, Desa Mayangrejo, suatu malam saat Mbah Panisih tertidur lelap bermimpi cukup menakutkan. Dalam mimpi tersebut Mbah Panisih sedang memandikan jenazah sebelum dikubur. Saat dimandikan mulut jenazah selalu membuka, jika mulut jenazah ditutup dengan tangannya kembali mulutnya membuka. Begitu seterusnya, mulut jenazah tak bisa menutup.

Baca Juga :  Desa Sudah, Desa Tertua di Kabupaten Bojonegoro

Mimpi itu terus terekam dalam ingatan Mbah Panisih. Mimpi yang diartikan Mbah Panisih sebagai isyarat, sebagai pertanda akan terjadi sesuatu. Seperti biasa, paginya Mbah Panisih melanjutkan pekerjaan menggali tanah untuk urugan pondasi rumah karena saat itu dirinya sedang membangun rumah.

Ia terus menggali hingga kedalaman 50 centimeter dan cangkulnya membentur benda keras. Saat itulah ia mengetahui cangkulnya membentur sebuah logam karena takut dikira logam itu adalah sebuah bom tinggalan perang, ia memanggil keluarga dekatnya untuk membantu mengais logam apa sebenarnya yang terpendam dalam tanah.

Setelah dikais-kais diketahui bahwa logam tersebut adalah lempengan-lempengan logam yang berjumlah 17 lempeng dan tersimpan dalam kotak logam yang sudah hancur termakan usia ratusan tahun.

Lempengan-lempengan tembaga yang bertuliskan huruf Jawa Kuno tersebut adalah prasasti Adan-adan. Lempengan-lempengan yang menyimpan sebuah kutukan dahsyat dari seorang Raja untuk menjaga hadiah swatantra yang diberikan kepada seorang Rajarsi.

Kutukan itu terbenam, sempat menghilang ratusan tahun dan kemudian muncul ke permukaan setelah huruf-huruf ditranskrip dan terbaca. Kemunculan kutukan tersebut ditandai dengan sebuah mimpi Mbah Panisih memandikan jenazah yang mulutnya selalu membuka. Sebuah kutukan yang membuat bulu kuduk berdiri, kutukan dari 721 tahun silam.

Sebuah kutukan raja hadir dalam sebuah mimpi, mungkinkah ? Masihkah kutukan tersebut terus bekerja dan menimpa siapa saja yang melanggar titah raja ?

Mbah Panisih mengakhiri ceritanya, sang penemu Prasasti Adan-adan. (red)

Penulis : Didik Wahyudi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *