Pemerintahan

Ketimpangan Layanan Adminduk di Bojonegoro: 45 Desa Tertinggal karena Ketiadaan Anggaran

×

Ketimpangan Layanan Adminduk di Bojonegoro: 45 Desa Tertinggal karena Ketiadaan Anggaran

Sebarkan artikel ini
Ketimpangan Layanan Adminduk di Bojonegoro: 45 Desa Tertinggal karena ketiadaan Anggaran

Suaradesa.co, Bojonegoro — Ketimpangan pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) masih membayangi Kabupaten Bojonegoro. Sebanyak 45 desa tersebar di lima kecamatan tercatat belum mampu memberikan layanan dasar kependudukan secara mandiri.

Penyebab utamanya bukan soal teknis, melainkan ketiadaan anggaran.

Kepala Disdukcapil Bojonegoro, Yayan Rohman, mengungkapkan bahwa seluruh beban pembiayaan layanan adminduk di tingkat desa ditanggung penuh melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Ini termasuk honor operator, alat tulis kantor, jaringan internet, dan perlengkapan kerja lainnya.

“Belum semua desa mampu menganggarkan karena keterbatasan fiskal. Ini bukan semata soal kemauan, tapi soal kemampuan,” ujar Yayan.

Ketimpangan Layanan Adminduk di Bojonegoro: 45 Desa Tertinggal karena ketiadaan Anggaran

Ketimpangan ini menyoroti ironi: di tengah dorongan digitalisasi dan desentralisasi layanan, tidak semua desa bisa bergerak setara.

Baca Juga :  Pemkab Bojonegoro Siapkan Bansos Bagi PKL

Masyarakat dari desa-desa seperti Luwihaji, Pandan, hingga Payaman masih harus menempuh perjalanan ke kecamatan hanya untuk mengurus akta kelahiran atau surat pindah.

Desa-desa tersebut tersebar di Kecamatan Ngraho, Ngasem, Balen, Kedungadem, dan Sumberejo. Situasi ini memperpanjang ketergantungan warga terhadap layanan tingkat kecamatan, sekaligus memperbesar potensi keterlambatan dan antrean panjang.

“Desa yang belum siap justru semakin tertinggal. Padahal, layanan adminduk adalah kebutuhan dasar,” kata Nur Kholis, pegiat pemberdayaan desa di Kedungadem.

Sebanyak 385 dari total 430 desa/kelurahan di Bojonegoro kini telah mampu memberikan layanan adminduk secara langsung. Namun ketimpangan antara desa yang mampu dan belum mampu menunjukkan masih lemahnya desain anggaran berbasis pelayanan publik.

Baca Juga :  Densus 88 Tangkap Oknum Guru Ngaji di Sukosewu

Pemerintah daerah memang sudah memfasilitasi pelatihan dan koordinasi, tetapi tanpa kejelasan skema pendanaan khusus atau subsidi untuk desa tertinggal, maka program layanan mandiri berisiko gagal menyentuh kelompok paling rentan.

“Kalau tidak ada intervensi kebijakan atau penguatan dana desa yang berpihak pada pelayanan publik, ini akan jadi masalah sistemik,” kata Dimas Triyono, peneliti kebijakan publik dari Universitas Bojonegoro.

Hingga kini belum ada tenggat waktu yang ditetapkan agar 45 desa itu wajib melayani adminduk sendiri. Pemerintah hanya berharap prosesnya bisa “segera”.

Namun di tengah ketimpangan struktural, harapan saja belum cukup. Dibutuhkan solusi konkret yang berpihak pada desa miskin dan warga pinggiran yang kerap luput dari prioritas pembangunan.(red)