Bojonegoro – Dalam dua tahun terakhir, gelaran program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dari Kemendes PDTT bersama Pemkab Bojonegoro, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya telah secara massal melahirkan hampir seribuan sarjana baru dari berbagai disiplin ilmu.
98% adalah perangkat desa yang tersebar dipenjuru Bojonegoro, ada sebagian kecil pegiat BUMDes yang juga menjadi penikmat program tersebut.
Seperti halnya mahasiswa yang lulus dari jalur reguler, mereka pun harus membuat sebuah laporan akhir berupa naskah akademik, yakni skripsi.
Dimana mereka menyusunnya berdasarkan kondisi di desa masing-masing.
Tak sedikit pula yang menuangkan gagasan di dalamnya, padahal mungkin selama ini gagasan tersebut hanya berkutat di dalam kepala masing-masing tanpa pernah dapat disampaikan secara formal.
Bagi saya, karya mereka dalam tugas akhirnya itulah gerbang pembuka jalan menuju kebermanfaatan program tersebut secara nyata bagi masyarakat.
Bila memang menjadi sesuatu yang layak diperhitungkan. Sehingga tak berhenti pada raihan gelar pribadi, ataupun peningkatan kapasitas personal masing-masing.
Sayangnya, belum ada informasi dari stakeholder yang berinisiatif secara terbuka untuk menjadi pemantik langsung kebermanfaatan tersebut.
Diakui atau tidak, karya mereka semua adalah hal baik dengan konsep yang akademis dan telah di telaah oleh para akademisi yang teruji kapasitas dan netralitasnya.
Agaknya, tak salah bila seluruh hasil karya peserta program RPL dapat menjadi sumber yang terstruktur dan teruji secara ilmiah sebagai salah satu pedoman pengambilan keputusan pemerintahan kita, kebetulan juga saat ini sedang dalam pandu seorang PJ yang memang lebih terbatas kepengetahuannya mengenai kondisi rakyat Bojonegoro.
Memang ada, sumber-sumber lain yang juga disebut cukup menggambarkan kondisi, kelebihan, kekurangan, hambatan, gagasan dan berbagai hal yang dibutuhkan untuk mengenali Kabupaten Bojonegoro.
Namun diakui atau tidak, hasil karya akhir para peserta program RPL itulah yang paling relevan dan berdasarkan penelitian dengan metode paling ilmiah.
Tanpa adanya hegemoni lain, murni berdasarkan metode ilmiah dengan tanpa tujuan serta batasan hirarki non akedemis.
Meski tak sempurna, karena kesibukan para perangkat desa, masih dapat dipilah beberapa karya atau beberapa bagian untuk mendapat gambaran-gambaran berbeda dari kondisi Bojonegoro.
Terlebih dalam mencermati gagasan guna menyelesaikan permasalahan di tingkat desa atau membangun desa sesuai dengan kebutuhan riil di tingkat bawah.
Pada dasarnya, program RPL seperti tujuan awalnya untuk memajukan desa, tak terbatas pada peran pesertanya setelah memperoleh gelar sarjana untuk dirinya.
Lebih dari itu, di tingkat kecamatan ataupun di tingkat kabupaten sudah menjadi kewajibannya untuk dapat menjadikan program ini dapat bermanfaat lebih luas.
Terlebih, sebagian pesertanya juga telah berkomitmen untuk memberikan kontribusi ilmiahnya bersama civitasnya dalam hal kerjasama berikutnya.
Meski terkadang ada anggapan bahwa program pemerintah seringkali berhenti pada ‘terlaksananya kegiatan’, tak salah bila ada harapan lebih atas tujuan program pemerintah tersebut.
Toh hal ini juga dapat diambil manfaatnya untuk memangkas biaya penelitian, dokumentasi dan penyerapan aspirasi di tingkat desa.
Terakhir, kebijakan publik tetap harus mengacu pada kondisi riil publik, bukan demi kotak-kotak yang justru menepikan publik. Data juga menunjukkan dominasi desa dalam struktur pemerintahan ini, artinya karya ilmiah yang dibuat oleh mereka adalah representasi kondisi riil di desa tanpa template. Selamat membangun Bojonegoro dengan asas kemanfaatan untuk rakyat.
Ramon Pareno
Penulis pernah bekerja sebagai tim publikasi Pemkab Bojonegoro