Bojonegoro – Dalam berbagai acara keluarga atau silaturahmi, terutama saat hari-hari besar, perempuan sering kali menghadapi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang terkesan sepele, namun memiliki dampak psikologis yang mendalam.
Pertanyaan seperti “Kapan lulus?” “Kapan menikah?” atau “Kapan punya anak?” tampak tidak berbahaya, tetapi bagi sebagian perempuan, pertanyaan ini menjadi beban mental yang sulit dijawab.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering kali muncul dari keluarga, teman, atau tetangga, yang mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah menciptakan tekanan sosial bagi perempuan untuk mencapai harapan-harapan yang mereka ajukan.
Bagi perempuan yang belum memiliki jawaban pasti, misalnya terkait pernikahan, pertanyaan “kapan menikah?” dapat memicu rasa cemas dan keraguan terhadap masa depan.
Dalam banyak kasus, perempuan mungkin tidak memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan ini karena keputusan-keputusan besar dalam hidup sering kali melibatkan faktor pribadi dan spiritual.
Perempuan juga merasa bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat privat dan tidak pantas ditanyakan kecuali oleh orang yang sangat dekat dan dipercaya.
Namun, tekanan sosial membuat perempuan merasa perlu bekerja lebih keras demi memenuhi harapan-harapan yang dibebankan oleh lingkungan, sekalipun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut masih dalam proses pencarian.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perempuan lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan yang disebabkan oleh tekanan sosial, terutama yang berkaitan dengan peran tradisional seperti menjadi istri dan ibu.
Ekspektasi ini sering kali mengabaikan kesiapan pribadi perempuan. Akibatnya, banyak perempuan yang terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan karena merasa harus segera memenuhi ekspektasi orang lain.
Menikah, misalnya, tidak hanya soal kesiapan fisik, tetapi juga mental. Banyak perempuan yang masuk ke dalam pernikahan tanpa kesiapan yang matang hanya karena tekanan dari pertanyaan “kapan menikah?” yang datang bertubi-tubi dari lingkungan sekitar.
Akibatnya, muncul masalah dalam kehidupan rumah tangga yang pada akhirnya dapat memicu pertengkaran hingga perceraian.
Pertanyaan-pertanyaan “kapan” lebih sering diajukan kepada perempuan daripada laki-laki.
Di masyarakat, perempuan yang belum menikah di atas usia 25 sering kali mendapatkan label negatif seperti “perawan tua,” sementara laki-laki relatif lebih jarang mendapat pertanyaan serupa, kecuali ketika mereka sudah menginjak usia 30-an.
Hal ini mencerminkan pandangan masyarakat yang masih terjebak pada stereotip bahwa kesuksesan perempuan diukur dari seberapa cepat mereka menikah, bukan dari pencapaian pribadi atau karier mereka.
Stereotip ini perlu diubah, dan sebagai perempuan, kita harus mendukung pilihan setiap perempuan tanpa menghakimi atau menanyakan pertanyaan yang bahkan mereka sendiri belum menemukan jawabannya.
Eksploitasi psikologis melalui pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus dihentikan. Setiap perempuan berhak untuk menentukan jalan hidupnya tanpa tekanan sosial yang merugikan kesejahteraan mentalnya. (fa)