Jakarta – Pusat Pengkajian Agraria dan Sumber Daya Alam (PPASDA) menyelenggarakan webinar nasional bertajuk “Memperkuat Desa Tangguh Bencana: Pelajaran dari Banjir dan Longsor di Sumatera”, Senin (22/12/2025).
PPASDA menilai bencana hidrometeorologis yang terjadi di Sumatra pada akhir November 2025 menujukan satu hal serius bahwa Desa-Desa di wilayah hulu dan daerah aliran sungai (DAS) menjadi paling rentan dan terdampak. Artinya Desa masih diposisikan sebagai objek eksploitasi ekstraktif dan bukan pula subjek utama dalam upaya mitigasi, adaptasi, dan pengurangan risiko bencana.
Hadir sebaagi narasumber: Yahdil Abdi Harahap, S.H., M.H – Staf Khusus Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal; Definitif Endrina Kartini Mendrofa, S.IP., M. IP (Dosen dan Penulis); serta Siti Nurhayati, S.I.P., M.A.P (Ketua Badko HMI Jawa Barat). Acara dimoderatori oleh Ririn Purnamasari, Anggota PPASDA.
Dalam pemaparannya, Yahdil Abdi Harahap menekankan pentingnya Desa berketahanan iklim untuk meminimalisir bencana di Indonesia termasuk banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah Sumatra.
Menurut Yahdil ancaman bencana dapat merusak infrastruktur Desa yang telah dibangun, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan memundurkan capaian pembangunan yang ada sehingga diperlukan langkah-langkah mitigasi.
Ia melanjutkan Kementerian Desa telah meluncurkan Indeks Risiko Iklim Desa (IRID) sebagai kompas mitigasi. “IRID itu alat ukur untuk memetakan kerentanan Desa terhadap dampak perubahan iklim dan mengukur kapasitas adaptasi masyarakat Desa,” ujarnya.
“IRID menjadi bagian dari penguatan tata kelola data Desa untuk mendukung pengambilan kebijakan yang adaptif. Integrasi data akan sangat membantu pemerintah Desa dalam merencenakan pembangunan berbasis ketahanan iklim,” tegas Yahdil.
Pemerintah menargetkan peningkatan persentase Desa berketahanan iklim dari 33,73% (baseline 2024) menjadi 38,73% pada tahun 2029. “Strateginya dengan melakukan transformasi pelestarian lingkungan, manajemen risiko bencana, penguatan kompetensi aparatur dan masyarakat Desa, dan kolaborasi multisektor termasuk dengan dunia usaha untuk aksi iklim di Desa,” pungkasnya.
Sementara itu, Definitif Endrina Kartini Mendrofa, dalam penjelasannya menyebut bahwa Desa Tangguh Bencana (Destana) harusnya memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana serta memulihkan diri dengan segara dari dampak bencana yang merugikan. “Payung hukumnya sudah ada diatur dalam Peraturan BNPB Nomor 7 Tahun 2025 tentang Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana, sekarang bagaimana memastikannya berjalan,” ujarnya.
“Kalau kita lihat data yang di rilis inaRisk, BNPB itu ada 53.000 Desa/Kelurahan berada di daerah rawan bencana. Lebih dari 51 juta keluarga tinggal di daerah rawan bencana,” tuturnya.
Definitif Endrina menilai isu utama dalam program Destana ada pada jumlah Destana yang belum merata sehingga banyak Desa belum terlindungi. Kemudian keterbatasan anggaran dan sumber daya berakibat pada kegiatan mitigasi sulit dilaksanakan.
Ia menambahkan, kapasitas masyarakat juga perlu dioptimalkan sehingga mereka memiliki kesiapsiagaan yang optimal. Terakhir koordinasi multi-aktor Desa-BPBD-BNPB yang kompleks perlu diurai sehingga tercipta sinergi yang kuat.
“Kalau ini bisa dilakukan maka program Destana akan tercapai dengan baik dan meningkatkan ketangguhan bencana. Bukti-bukti penelitian dan pengabdian masyarakat mengafirmasi hal ini,” lanjutnya.
Diperlukan juga penguatan pada aspek perencanaan, tata ruang, dan dukungan anggaran agar upaya pengurangan risiko bencana dapat berjalan lebih optimal dan berkelanjutan.
“Kedepan untuk memastikan ini berjalan, maka wajib untuk: menintegrasikan Destana kedalam RPJM Desa dan RKP Desa; pengarustamaan risiko bencana dalam tata ruang desa; penguatan dasar regulasi dan kelembagaan destana di Desa; optimalisasi pemanfaatan Dana Desa untuk kegiatan pengurangan risiko bencana; sinkoronisasi perencanaan Desa dengan kebijakan daerah; dan penguatan koordinasi dan sinergi multipihak,” tegasnya.
Adapun Siti Nurhayati menggarisbawahi persoalan bencana sebagai akumulasi dari kebijakan dan praktik yang abai terhadap daya dukung lingkungan. Jadi bencana di Sumatra itu adalah kegagalan tata kelola.
Ketua Badko HMI Jawa Barat ini menilai Desa khususnya yang ada di hulu dan DAS adalah paling terdampak dan masih diposisikan sebagai objek bantuan, penerima instruksi teknokratis, bukan aktor pengambil keputusan, padahal Desa memiliki pengetahuan lokal dan sejarah ekologis, struktur sosial yang solid, dan kedekatan langsung dengan ruang hidup dan lanskap alam.
Ia juga melihat program Destana antara konsep dan realitasnya tidak sejalan. “Tantangannya serius sebab minim integrasi dengan tata ruang Desa, dana Desa juga terbatas untuk mitigasi-adaptasi, lemahnya perlindungan ruang hidup Desa dari eksploitasi SDA, juga program Destana dianggap sebagai program sectoral kebencanaan, bukan agenda pembangunan Desa berkelanjutan,” tegasnya.
Siti Nurhayati berharap Destana diintegrasikan dalam RPJMDes dan tata ruang Desa, selanjutnya penguatan alokasi Dana Desa untuk mitigasi dan adaptasi, dan tentunya perlindungan hukum atas ruang hidup Desa serta sinergi lintas kementerian dalam satu kerangka Destana.







