Suaradesa.co – Sidang dugaan korupsi pengadaan mobil siaga desa di Bojonegoro mengungkap fakta mengejutkan: para kepala desa ternyata meminta cashback sebesar Rp15 juta per unit mobil dari terdakwa Heni Sri Setyaningrum. Fakta ini memunculkan pertanyaan mendasar—apakah ini murni kasus penyimpangan individu atau bagian dari praktik yang telah lama berlangsung dalam pengadaan barang di desa?
Dalam kesaksian di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Kamis (27/2/2025), Lukman, salah satu Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) tingkat kecamatan, mengakui bahwa inisiatif permintaan cashback datang dari para kepala desa. Awalnya, mereka meminta Rp10 juta, namun setelah negosiasi dengan Heni, jumlahnya meningkat menjadi Rp15 juta per unit.
Hal lain yang terungkap dalam persidangan adalah aliran dana pembelian mobil yang tidak masuk ke rekening resmi PT Sejahtera Buana Trada (SBT), tetapi justru ke rekening pribadi Heni, yang ternyata bukan pegawai resmi perusahaan melainkan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkab Magetan.
Pertanyaan Besar tentang Etika dan Akuntabilitas
Fakta bahwa para kepala desa meminta cashback menimbulkan polemik. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa yang ideal, transaksi harus dilakukan secara transparan melalui mekanisme lelang resmi. Namun, dalam kasus ini, para kepala desa tampak lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada memastikan penggunaan dana desa yang sesuai prosedur.
Kuasa hukum Ivonne, Kepala Cabang PT SBT yang juga menjadi terdakwa, menegaskan bahwa kliennya tidak mengetahui adanya kesepakatan cashback tersebut. Akibatnya, Ivonne harus menutupi kekurangan pembayaran lima unit mobil dengan uang pribadinya, menyebabkan kerugian sebesar Rp1,205 miliar.
Apakah Ini Fenomena Sistemik?
Kasus ini menyoroti potensi permasalahan yang lebih luas dalam pengelolaan dana desa. Jika praktik seperti ini sudah menjadi kebiasaan, maka kasus mobil siaga ini bisa menjadi puncak gunung es dari permasalahan tata kelola anggaran desa yang lebih besar.
Apakah permintaan cashback dalam pengadaan barang dan jasa di desa merupakan praktik yang sudah berlangsung lama? Jika ya, sejauh mana dampaknya terhadap transparansi dan akuntabilitas keuangan desa?
Kasus ini bukan sekadar soal individu yang terjerat hukum, tetapi juga momentum bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengevaluasi sistem pengadaan barang dan jasa di tingkat desa agar tidak lagi menjadi celah bagi praktik korupsi.(red)