Suaradesa.co (Tinawun) – Kondisi harga minyak mentah di sumur tua yang turun drastis, membuat sebagian besar para penambang menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Bagaimana tidak, jika tahun-tahun sebelumnya harga minyak mencapai Rp3.300 per liter, sekarang hanya Rp1.500 per liter saja. Belum lagi, volume minyak menurun dan sumur butuh servis.
Tentu biaya yang dikeluarkan kelompok penambang tidak sedikit. Satu-satunya jalan harus menggandeng investor guna mempertahankan sumur-sumur minyak tersebut.
“Di Desa Tinawun ini ada banyak sumur minyak yang dikelola warga atau kelompok penambang termasuk saya,” kata Martono, warga setempat saat dikunjungi dirumahnya, Kamis (20/8/2020).
Dia mengaku, sumur yang dikelolanya kini tidak lagi mengeluarkan minyak seperti dulu. Volume yang keluar hanya sekitar 3 drum, atau 1 drummnya berisi 5 liter minyak.
Saat ini, sumur yang berada tepat disamping rumahnya di Desa Tinawun, Kecamatan Malo ini tidak diaktifkan. Nampak sisa-sisa alat untuk memompa minyak berupa tuas dan kayu berwarna legam dibiarkan begitu saja.
“Kami jual ke Pertamina dengan harga Rp1500 per liter, karena merugi ya dihentikan dulu,” imbuhnya.
Pendapatan yang tidak menentu itulah, membuat Martono banting setir berjualan kerupuk. Baru dua minggu ini, bersama istri dan lima orang tetangganya mulai berbisnis kerupuk bulat berwarna putih atau biasa disebut kerupuk bandung.
“Ada teman yang membantu saya jual kerupuk Bandung, bahan baku kerupuk ini didatangkan dari Kediri,” ujarnya mulai bercerita.
Ada hampir lima karung atau 20 Kg lebih kerupuk mentah yang diberikan kepada ayah satu anak ini. Karena belum ada penghasilan, maka sistem bagi hasil dengan sang teman belum dilakukan.
“Kalau kerupuknya sudah habis semua baru bagi hasil dari penjualan,” imbuhnya.
Dia mengaku, setiap hari mampu menggoreng kerupuk hingga 900 an bungkus. Per bungkus berisi lima kerupuk. Per bungkus dihargai Rp1000.
“Alhamdulillah, saya jual setiap harinya pasti habis,” ungkapnya.
Meski demikian, ada kendala yang tidak bisa dihindari. Sudah dua hari ini, kerupuk yang dijualnya berasa tengik. Akhirnya, dia mengganti rugi kerupuk-kerupuk yang dititipkan melalui warung makan atau toko kelontong.
“Saya stop dulu goreng krupuknya, karena tiba-tiba belum satu hari sudah tengik. Mungkin karena bahan plastik yang dipakai membungkus kerupuk kurang tebal atau bagaimana saya masih mempelajari,” lanjutnya.
Martono berharap, ada pelatihan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bagi dirinya untuk mengemas produk kerupuknya ini. Tidak hanya itu, tetapi juga cara membuat label yang benar.
“Pelatihan itu penting. Apalagi, banyak warga atau ibu-ibu yang saya berdayakan untuk bantu pengemasan kerupuk,” tandasnya.(*rin)