Suaradeaa.co, Makassar – Wacana pengelolaan sumur minyak tua oleh masyarakat kembali mencuat setelah kontrak pengelolaan PT Bojonegoro Bangun Sarana (BBS) resmi berakhir pada 2025 dan belum diperpanjang.
SKK Migas mendorong Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk segera memikirkan arah kebijakan baru, yang dinilai lebih berpihak kepada keberlanjutan ekonomi warga sekitar.
Lapangan minyak tua Wonocolo di Kecamatan Kedewan, yang dahulu merupakan peninggalan Belanda, hingga kini belum memiliki kejelasan pengelola baru.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi D. Suryodipuro, menyebut bahwa secara keekonomian, pengelolaan oleh masyarakat justru lebih efisien.
“Biaya produksi sumur tua relatif kecil jika dikelola masyarakat. Justru jika diserahkan kepada korporasi seperti Pertamina, ongkosnya tinggi dan belum tentu untung,” kata Hudi di sela-sela Media Gathering Pertamina Regional Indonesia Timur, Senin (24/6/2025), di Makassar.
Hudi menekankan pentingnya mengintegrasikan pengelolaan sumur tua dengan program pemberdayaan masyarakat.
“Pendekatannya bukan hanya produksi minyak, tetapi bagaimana sumur tua ini menjadi instrumen peningkatan ekonomi lokal secara berkelanjutan,” ujarnya.
Dalam praktik sebelumnya, pengelolaan dilakukan oleh PT BBS bersama paguyuban penambang lokal.
Namun kini, seiring berakhirnya kontrak dan belum adanya kepastian perpanjangan, wacana pengembalian pengelolaan kepada masyarakat masih belum jelas, termasuk apakah akan dilakukan melalui skema koperasi, BUMDes, atau bentuk kelembagaan lainnya
Produksi harian sumur tua Wonocolo saat ini hanya sekitar 200 barel dari 247 sumur yang ada. Angka yang memang kecil, namun tetap menjadi penopang ekonomi ratusan penambang tradisional. (red)