Suaradesa.co, Bojonegoro – Dengan bertambahnya desa penghasil migas di Bojonegoro menjadi 11 desa, besaran alokasi dana desa (ADD) kini semakin bergantung pada volume produksi migas. Namun, skema pembagiannya masih menjadi perdebatan di kalangan pemerintah desa.
Kepala Desa Campurejo, Edi Sampurno, menyebut bahwa desanya diperkirakan mendapat ADD hingga Rp 1,1 miliar. Namun, pihaknya masih menunggu keputusan resmi.
“Sejauh ini belum ada kabar pasti. Senin lalu baru ada rapat dan sosialisasi,” ungkapnya, Sabtu (22/3)
Sementara itu, Kabid Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bojonegoro, Achmad Suryadi, menegaskan bahwa besaran ADD dihitung berdasarkan beberapa variabel.
“Selain jumlah penduduk, juga dihitung berdasarkan jumlah produksi minyak dari masing-masing lapangan. Karena harga minyak lebih mahal dibandingkan gas, maka desa yang menghasilkan minyak cenderung mendapat ADD lebih besar,” jelasnya.
Dari data yang ada, desa-desa yang masuk wilayah migas tersebar di beberapa kecamatan. Campurejo dan Ngampel menjadi desa penghasil pertama di Bojonegoro, sementara desa terbaru yang ditetapkan meliputi Sukoharjo, Bandungrejo, Dolokgede, Kaliombo, dan Pelem.
Namun, beberapa desa di sekitar wilayah migas yang tidak berstatus desa penghasil merasa perlu adanya pemerataan manfaat.
“Kami memang bukan desa penghasil langsung, tapi dampak aktivitas migas juga kami rasakan, baik dari sisi lingkungan maupun sosial,” ujar salah satu warga desa di Kecamatan Purwosari yang enggan disebut namanya.
Dengan sistem ADD yang berbasis produksi, desa-desa yang memiliki cadangan minyak besar akan mendapatkan porsi lebih banyak, sementara desa lain bisa tertinggal. (red)