Penulis: Anurul Latif Azizatul Umah
Suaradesa.co (Bojonegoro) – Hari itu, saya bersama dengan beberapa rombongan kawan-kawan dari seluruh kota Jawa Timur berkesempatan untuk berkeliling di beberapa objek wisata Kabupaten Jawa Timur.
Kami berangkat pagi-pagi dengan menggunakan 2 bus sekaligus menuju pelataran khayangan api. Setelah keluar dari jalur perkotaan Bojonegoro, kami memasuki area hutan jati.
Nampak beberapa muda-mudi tengah berjejer di sepanjang jalan untuk berfoto ria atau sekedar menikmati alunan musik dari angin yang menerpa dedaunan dan ranting.
Memang terlihat sangat rindang dan seolah menjadi penenang bagi jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan.
Sesampainya dilokasi kami disambut ramah oleh beberapa petugas dan pawang yang dengan sabar dan sigap menceritakan sejarah dari khayangan api. Ternyata Khayangan api sendiri adalah salah satu wisata unggulan di kabupaten Bojonegoro, yang terletak di kawasan hutan lindung Desa Sendangharjo Kecamatan Ngasem.
Pertama-tama kami diarahkan untuk menikmati maskot utama dari objek wisata ini yaitu api abadi. Dikutip dari website resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bojonegoro menyebutkan, sejarah Khayangan Api, bahwa Kayangan Api ini dulu adalah tempat bersemayamnya Mbah Kriyo Kusumo atau Empu Supa atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Pandhe berasal dari kerajaan Majapahit.
Di sebelah barat sumber api terdapat kubangan lumpur yang berbau belerang dan menurut kepercayaan saat itu Mbah Kriyo Kusumo masih beraktivitas sebagai pembuat alat-alat pertanian dan pusaka seperti keris, tombak, cundrik dan lain-lain. (https://dinbudpar.bojonegorokab.go.id/menu/detail/6/ObyekWisata)
Meski ditengah Pandemi sekarang ini, kondisi khayangan api tidak seperti dulu lagi, dalam artian jumlah pengunjung tak membludak lagi, wisata ini akan tetap exist karena keunikanya.
Salah satu keunikan yang membuat saya dan kawan-kawan saya berdecak kagum adalah ketika si pawang mengizinkan kami untuk melintasi gundukan batu berapi. Mulanya memang ragu, tapi dalam hati “toh katanya ini tidak apa-apa, tidak akan membakar manusia yang melintas, asalkan yakin”.
Lalu kami pun mencoba satu persatu dengan hati yang berdebar, dan sedikit cemas, berjalan melewati bara api, dan memang benar adanya seperti itu, tidak membakar sehelai kain pun yang menempel di tubuh kami.
Perjalanan kami lanjukan dengan melihat tempat pertapaan yang disitu juga ada keris peninggalan mbah Supa.
Kemudian berganti ke lubangan air yang meletup-letup seolah air itu panas dan tengah mendidih, tapi tidak, air itu dingin, karena si pawang membolehkan kami untuk mencelupkan tangan kami ke dalam air tersebut.
Terakhir kami ke pendopo untuk menikmati gending jowo ala pesinden dengan balutan kain kebaya jawa.
Sambi menikmati indahnya alam bernuansakan pohon jati yang mengitari lokasi pengunjung telah disediakan beberapa gazebo, dan stan-stan yang menyediakan makanan, dan minuman.
Ada juga pernak pernik dari kerajinan khas Bojonegoro yang dapat dibawa pulang sebagai buah tangan.
Alangkah baiknya jika Pemkab dan masyarakat lokal mau menjaga dan terus mendukung penuh objek wisata andalan ini, agar terus berkembang dan maju.
Terutama untuk para pemudanya agar berbangga memiliki objek-objek lokal dengan cara ikut meng up ke berbagai media, sehingga tidak ada kata tidak tahu menahu lagi tentang objek wisata lokal kota sendiri. (*Zah)