Kicau burung Pipit didepan rumah, menambah segar pagi berbalut kabut. Kubuka jendela kamar, dengan halaman luas membentang. Masih banyak tanaman buah peninggalan almarhum ayah tercinta yang tumbuh subur.
Kuhirup dalam-dalam nafasku, kuhela, kurasakan subuh yang syahdu. Kusentuhkan dahi di sajadah tebal berwarna hijau pekat, kuhaturkan doa untuk kedua orang tua dan diriku sendiri.
Meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa, kiranya memberiku kekuatan. Dua kekuatan sekaligus, setelah ditinggal ayah tercinta, tunanganku juga pergi entah kemana.
Aku, Vanda
Usiaku 25 tahun, dengan kulit sawo matang dan mata bulat dihiasi alis tebal, ditambah hidung agak mancung dan gigi gingsul membuat semua orang selalu memujiku. Cantik, pintar, juga cemerlang di pekerjaan. Aku bekerja di perusahaan milik pemerintah daerah.
Namun, apa yang dilihat orang tak seindah yang kujalankan. Hidupku, penuh kepedihan. Tapi berusaha kusimpan. Kehilangan ayah sekaligus kekasih dala waktu bersamaan, seperti langit runtuh diatas kepalaku.
Ingin menyusul ayah, tapi masih ada ibu dan adikku semata wayang baru lulus dari sekolah menengah atas. Butuh aku, terlebih, tidak banyak peninggalan ayah untuk mereka. Otomatis, akulah tulang punggung keluarga.
“Van…. I love You…”
Kata-kata cinta dari seorang sahabat, membuyarkan lamunanku usai sholat subuh. Memang, tidak aneh kotak pesanku selalu berbunyi, entah itu subuh atau saat tahajud. Dia, selalu tahu kapan hapeku online atau offline.
“Apa ini??! ” balasku
Sunyi. Tidak ada balasan. Pikiranku melayang, membayangkan seraut wajah ramah, cerewet, tapi tidak menutupi kecerdasan otaknya. Dani.
Sahabat yang selalu mensupport bahkan ketika aku terpuruk kehilangan seseorang yang sangat menyayangiku dia meminjamkan pundaknya.
Ahh, aku tidak tahu maksud pesan di hapeku. Mungkin dia bercanda. Bagaimana tidak, bulan depan dia akan menikah. Tidak mungkin dia mengatakan cinta padaku.
Brakkkkk!!
Aku jatuh tersungkur dan menumpahkan secangkir kopi yang telah kupesan.
Sejenak, pelayan cafe menatapku nanar. Dan dengan sigap dia membersihkan semua ceceran kopi dan serpihan cangkir yang berkeping.
“Van, kamu kenapa? Sudah, biar aku yang pesan kopi lagi buat kamu. Sana cari duduk di pojok,” kata Dani tiba-tiba.
Kulirik jam ditangan, hampir sore dan langit terlihat mendung. Sebentar lagi hujan, aku ingin pergi dari cafe ini.
“Dan, maaf ya. Aku mau pulang. Lagi gak enak badan,”
“Hei, sini dulu. Sudah kupesankan kopi lagi buat kamu. Lagipula, aku mau mengembalikan labtopmu yang kupinjam kemarin,”
Dengan lembut, tiba-tiba Dani menatapku dengan serius. Mata elangnya sempat membuat dadaku berdegup kencang, tapi kuabaikan. Bukan milikku..
“Van, aku serius. Aku suka kamu,”
Aku terbelalak. Hampir jatuh untuk kedua kalinya cangkir ditangan. Cukup malu aku tadi, tersandung kaki pelanggan. Dan aku, harus malu lagi karena pengakuan Dani??
“Kamu ngomong apa sih? Jangan ngawur. Bulan depan kamu nikah sama Lia. Maksudmu apa,?”
Aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Dani semakin bingung dengan sikapnya sendiri. Dia bilang cinta Lia, tapi juga menyayangiku.
“Hatiku tertaut lama padamu, sebelum bertemu Lia. Hanya saja, kamu milik orang lain. Setelah kalian berpisah, aku semakin ingin memilikimu,”
“Lalu, apa kamu mau memilihku dan lari seperti Ari? Pergi begitu saja tanpa kabar dan berita. Meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Apa kamu juga mau meninggalkan Lia? Surat undangan pernikahanmu bagaimana?” kataku setengah berteriak.
Langit mendung yang nampak murung, sejenak menumpahkan air matanya dengan lebat. Menenggelamkan suaraku yang mulai serak.. pedih. Ketika harus mendengar kata cinta dari sahabat sendiri. Meski sebenarnya, dulu, dulu sekali, ada hati untuk Dani.
“Maaf Dan, aku tidak bisa menerima cintamu. Buang aja rasa itu. Aku tidak ingin menghancurkan hubunganmu dengan Lia,”
Dani menghela nafas. Wajah manisnya semakin murung. Rasa frustasi terlihat begitu jelas.
Aku pergi meninggalkan Dani tanpa sepatah kata. Aku tidak peduli, berusaha membuang jauh perasaan sayang yang pernah singgah. Jika aku mengiyakan, bagaimana dengan calon istrinya?
Aku pergi, meninggalkan luka yang semakin menyayat hati. Bukan bahagia yang kudapat, tapi patah hati yang begitu dalam. Tak ada yang bisa membuatku tersenyum hari ini..
🌺🌺
Setelah menikah, Dani tak gentar mendekatiku. Dia terus saja memberikan perhatiannya. Mulai mengubah jadwal pertemuan di organisasi (kebetulan kami satu organisasi di sebuah yayasan) yang mulanya seminggu dua kali, ini jadi empat kali.
Mulai ngajak makan siang, sampai bela-belain beli sepeda baru buat menemaniku gowes tiap sore keliling kota.
Tapi meski intensitas pertemuan meningkat, tak pernah sekalipun dia berucap cinta, atau rindu. Sebaliknya, aku
Dengan perhatiannya itu, malah membuatku jatuh cinta. Aku semakin suka berada didekatnya. Lambat laun kepedihan dalam hati terobati.
“Besok, ada waktu? Kita ke danau yuk. Mancing,”
Mancing hobi si Dani. Dia selalu meluangkan waktunya untuk memancing di danau ujung kota. Sepi tapi nyaman. Melatih kesabaran juga. Aku juga suka.
Menemaninya sepanjang hari, membuatku tenang. Seperti biasa, sambil memancing sambil mendengarkan ocehannya.
Ahh, ternyata dia hanya menghiburku saja. Buktinya, meski berdua, Dani tak sekalipun menunjukkan rasa cintanya padaku. Mungkin aku yang salah faham sekarang.
Cinta dalam hatiku kurasa semakin dalam. Tiap hari merindu, bahkan cemburu bila melihatnya dengan Lia. Tersiksa. Lagi. Tapi bahagia, saat didekatnya.
Aneh, aku harus bagaimana?
Tidak mungkin aku mengutarakan rasa
Aku takut Dani menyadari perubahan sikapku padanya. Kusimpan rapi dalam hati, rindu ini
Rindu_Ruai