Suaradesa.co, Bojonegoro – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro resmi menghapus program Santunan Duka (Sanduk) yang selama ini diberikan kepada warga miskin yang meninggal dunia. Kebijakan ini digantikan dengan program jaminan sosial ketenagakerjaan melalui BPJS Ketenagakerjaan, mengikuti Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021.
Namun, perubahan ini menuai sejumlah pertanyaan kritis, terutama terkait efektivitas dan akuntabilitas dalam menjamin hak-hak warga miskin secara langsung.
Pengumuman ini disampaikan Wakil Bupati Bojonegoro, Nurul Azizah, dalam Seminar Hari Pers Nasional 2025 yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bojonegoro, Sabtu (10/5/2025), di Pendopo Malowopati.
Ia menegaskan bahwa tidak ada lagi anggaran untuk Sanduk dalam APBD 2025 karena anggaran dialihkan untuk membiayai iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi 153.000 pekerja rentan di Bojonegoro.
“Bukan dihapus, tapi dialihkan sesuai aturan perundangan yang berlaku,” ujar Nurul.
Namun, ia juga mengakui bahwa pada tahun-tahun sebelumnya, dari sekitar 33.000 pengajuan Sanduk sejak 2020, hanya sekitar 7.000 yang benar-benar memenuhi kriteria miskin berdasarkan audit Inspektorat dan BPK.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: apakah penghapusan Sanduk adalah solusi terhadap lemahnya akurasi data, atau bentuk pengalihan tanggung jawab langsung Pemkab kepada sistem asuransi sosial yang belum tentu menjangkau seluruh warga rentan?
Dalam program Sanduk, bantuan bisa langsung dirasakan oleh keluarga miskin yang berduka. Sementara skema BPJS Ketenagakerjaan mensyaratkan keikutsertaan sebagai peserta aktif—yang berarti, warga miskin yang belum terdaftar tidak akan mendapat manfaat jika terjadi kematian.
Meski Pemkab telah mendaftarkan 54.000 Kepala Keluarga (KK) miskin sebagai peserta, terdapat kekhawatiran soal inclusivity dan jangkauan riil di lapangan, terutama bagi warga yang tidak memiliki akses informasi atau belum terdata.
“Sanduk dulu memang banyak bolongnya, tapi solusi bukan dengan menghapus—melainkan memperbaiki sistem dan data. Sekarang, masyarakat yang tidak tercakup BPJS bisa kehilangan jaminan apa pun saat meninggal,” ujar salah satu warga asal Kecamatan Bojonegoro, Wahyudi (40).
Tak hanya itu, Sanduk sebelumnya masuk dalam kategori belanja tidak terduga (BTT). Dalam APBD 2025, pos ini tidak lagi digunakan karena tak memiliki “cantolan nomenklatur” dalam SIPD (Sistem Informasi Pemerintah Daerah). Ini menyoroti persoalan tata kelola dan teknis perencanaan anggaran yang kerap menjadi kendala implementasi program pro-rakyat.
Dengan perubahan kebijakan ini, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan semua warga miskin dan pekerja informal terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, dan apakah sistem ini cukup responsif untuk kondisi darurat seperti kematian mendadak di keluarga miskin?
Sementara itu, Wakil Bupati Nurul Azizah menekankan bahwa manfaat dari BPJS lebih besar dan terstruktur, termasuk santunan kematian Rp42 juta dan bantuan pendidikan bagi dua anak hingga jenjang perguruan tinggi.
Namun, di balik manfaat yang dijanjikan, publik kini menanti evaluasi mendalam soal keterjangkauan, validitas data, serta kepastian pelayanan dari lembaga asuransi sosial tersebut—apalagi jika kelak terjadi keterlambatan pencairan atau birokrasi yang membelit warga di pelosok desa.
Melalui forum Hari Pers Nasional ini, Pemkab Bojonegoro berharap media turut menyampaikan bahwa Sanduk tidak benar-benar dihapus, melainkan disesuaikan dengan regulasi nasional. Namun tetap, masyarakat berhak untuk kritis terhadap perubahan ini—karena pada akhirnya, soal duka dan kemiskinan bukan sekadar urusan teknis, melainkan soal keadilan sosial di tingkat akar rumput.(red)