suaradesa.co(Bojonegoro) – Meski hidup dalam perekonomian yang pas-pasan tak lantas membuat Ruki (65), warga Dusun Sumur Pandan, Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, tergiur dengan besaran nilai uang yang ditawarkan oleh para makelar pembebasan lahan untuk kepentingan proyek Migas Banyu Urip, Blok Cepu kala itu. Namun lebih memilih mempertahankan sebidang tanahnya untuk tidak dijual. Demi mempertahankan keberlangsungan hidup keluarganya dari hasil pertanian.
Tak berbeda dengan hari-hari biasanya. Suasana sekitar sumur minyak Banyu Urip, Blok Cepu, yang bersentra di Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, redup seiring dengan musim penghujan. Awam kelabu bergelantungan di setiap sudut langit. Merangkak perlahan digendong angin, menjadikan Sang Bagaskara timbul tenggelam diantara gugusan awan.
Sejak beberapa bulan ini wilayah sumur minyak yang konon memiliki sumber terbesar se-Asia itu diguyur hujan. Kendati hujan di siang itu belum turun, seakan awan memberikan ruang untuk pekerja proyek minyak, dan warga setempat beraktivitas.
Ruki (65), warga Dusun Sumur Pandan, Desa Gayam, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, misalnya. Setiap harinya pria berkulit sawo matang ini tak pedulikan panasnya terik matahari maupun hujan tetap mengembala kambing di bekas lapangan sepak bola Desa Gayam yang terlak dipinggir lokasi Wel Pad C.
Sambil menunggui kambingnya, Ruki menceritakan sepenggal kisah awal berjalannya proyek minyak Banyu Urip. Salah satunya adalah pembebasan ratusan hektar lahan pertanian milik warga sekitar. Kala itu warga banyak tergiur harga per meter cukup mahal yang ditawarkan oleh para makelar tanah. Sehingga dengan mudah melepaskan lahannya dibeli perusahaan untuk kepentingan proyek tanpa berpikir jangka panjang untuk keluarganya.
Pria buta huruf ini mengaku, kala itu juga pernah ditawari harga cukup fantastis oleh makelar, namun tak bergeming dan tetap mempertahankan lahan pertaniannya untuk tidak dijual seperti sanak saudaranya, tetangga, dan kerabat lainnya. Meski kondisi perekonomian yang pas-pasan pada saat pembebasan lahan dikisaran enam tahun yang lalu semenjak ada pengembangan Lapangan Migas yang dilakukan oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL).
“Saya masih ada sawah sedikit, tapi tidak tak jual karena demi keberlangsungan hidup bagi keluarga, yaitu anak cucu kedepannya,” ujarnya.
Dengan menenteng kemanak (penutup mulut) kambingnya, Ruki mengaku, bersama istri bersikukuh untuk mempertahankan harta satu-satunya itu karena banyak yang mendasarinya. Dia dan istri menyadari jika keterampilannya hanyalah bertani.
“Bisanya bertani, kalau dijual mau kerja apa. Ikut orang ya pasti tidak enak,” tukasnya.
Tak sedikit warga saat ini pada getun (menyesal) yang lahannya telah terlanjur dijual. Karena pada akhirnya kesulitan bercocok tanam untuk menyambung hidup. Sebab uang hasil penjualan lahan kala itu banyak yang digunakan membeli motor, mobil, membangun rumah, dan tidak dibelikan lagi lahan pertanian maupun usaha lainnya.
“Sekarang banyak warga yang bercocok tanam di wilayah hutan untuk bisa mendapatkan hasil dari pertanian,” tuturnya.
Selain memiliki sawah kurang lebih seluas 2500 meter persegi, bapak sembilan anak ini juga memiliki sembilan Kambing siap jual. Setiap tahun, kambing-kambing tersebut selalu laku dipasaran.
Harganya bervariasi, antara Rp800 ribu hingga Rp2,5 juta per ekornya. Menekuni beternak kambing juga sebagai aktivitas selain bertani. Hasilnya mampu untuk membiayai sekolah sembilan anaknya sampai ke jenjang SMA, dan sekarang semuanya telah mandiri sendiri.
“Cucu saya sudah sembilan. Satu anak, satu cucu,” ujarnya sambil tertawa.
Pria yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah ini mengaku, tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah maupun program pemberdayaan masyarakat dari perusahaan migas.
“Saya milih hidup mandiri, tidak mendapat bantuan tidak apa-apa, karena saya mampu,” tandasnya.
Diakui, jika anak-anaknya hanya sedikit yang mengikuti jejaknya sebagai petani dan penggembala kambing. Hampir semua bekerja menurut kehendak hati. Ada yang bekerja di proyek migas, buruh bangunan, wirausaha, ada juga yang diluar kota mengadu nasib.
“Yang anak bungsu masih nurut, mau bantu di sawah dan gembala kambing. Lainnya kerja,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, lebih dari 500 hektar lahan pertanian di wilayah Kecamatan Gayam yang sudah terbebaskan untuk kepentingan proyek Migas Banyu Urip, Blok Cepu yang di operatori EMCL. Ratusan hektar lahan tersebut diantaranya tersebar di Desa Gayam, Mojodelik, Bonorejo, Brabowan, Sudu dan Ngraho.(wed/*)