Berita UtamaKabar KotaSerba Serbi

Pengalaman Spiritual di Makam Wali Kidangan

1043
×

Pengalaman Spiritual di Makam Wali Kidangan

Sebarkan artikel ini

Suaradesa.co (Sukorejo) – Keberadaan Makam Wali Kidangan hingga kini masih asing terdengar bagi masyarakat di Bojonegoro, Jawa Timur. Terlebih, bagi orang yang belum pernah melakukan wisata religi seperti ziarah di makam leluhur.

Lokasi Makam Wali Kidangan, berada jauh dari pusat keramaian, terletak di Dusun Kidangan, Desa Sukorejo, Kecamatan Malo, tepat diatas bukit.

Untuk menuju lokasi, pengunjung harus menaiki sekitar 500 anak tangga. Dikelilingi pohon jati dan rumpun bambu yang rindang, jalan menuju Makam terasa sejuk dan segar. Udara di sekitar masih sangat asri.

Bersama sahabat saya, Alfa Nurohmah, kami menikmati perjalanan menuju bukit. Jika tidak terbiasa olah raga, maka napas akan tersengal dan kaki terasa pegal.

Dengan santai dan menikmati suasana, hal itu tidak terjadi pada kami berdua. Sambil bercanda, tidak terasa lokasi yang kami tuju telah sampai.

Tepat pukul 13.30 Wib, kebetulan hanya saya yang dalam kondisi suci akhirnya sholat dhuhur sendirian. Alfa, menunggu di halaman Mushola.

Setelah sholat, ada pria berusia sekitar 40 tahun mendekat dan bertanya asal kami. Dengan santun, kami menjawab satu persatu pertanyaan pria yang bernama Kang Wit itu.

“Mau ziarah Mbak?,” dia menyapa kami dengan ramah.

“Injih bapak, sambil jalan-jalan sambil liputan. Kebetulan, saya wartawan,” kataku pelan.

Meski bukan Juru Kunci, namun Kang Wit ini setiap hari yang menjaga dan membersihkan Makam Wali Kidangan. Berkat dia, kami mendapat sedikit cerita tentang Mbah Wali Kidangan.

Jadi, berdasarkan penuturannya, Mbah Wali Kidangan ini diyakini sebagai makam dari Raden keturunan Kerajaan Pajang yang dulu melarikan diri untuk mencari ketenangan dan akhirnya bertapa di puncak Kidangan hingga ajal menjemput.

Dari cerita turun temurun, kata Kang Wit, namanya adalah Raden Sentono atau nama lainnya Syekh Mukodar atau Pangeran Kumbang Ali-ali atau Pangeran Narasoma.

Baca Juga :  Solusi Bangun Indonesia Dorong Proyek Solar Panel pada Pabrik Semen di Tuban

Menurutnya, makam ini sudah ada sejak lama. Bahkan ribuan tahun silam. Hal ini dapat ditelisik dari keterangan tertulis di Makam waktu meninggal Wali Kidangan adalah tahun 1018.

Jika bukan hari-hari tertentu, lokasi Makam akan sepi pengunjung. Seperti pada Rabu (19/8/2020) malam yang ramai karena tepat malam 1 suro atau tahun baru Islam atau 1 Muharram.

“Tadi malam ramai sekali peziarah yang datang,” ungkapnya.

Para peziarah banyak yang datang pada hari Kamis Legi dan Jum’at Pahing. Akan lebih banyak lagi yang datang pada saat haul, yakni pada malam 1 Suro (1 Muharram).

Kang Wit bercerita, jika banyak peziarah dari luar kota yang datang ke Makam ini untuk berdoa.

Setelah mendengarkan panjang lebar sejarah Wali Kidangan, kami bertiga kembali menapaki anak tangga. Tidak seperti sebelumnya, anak tangga ini hanya sekitar puluhan saja jumlahnya.

Memasuki lokasi makam, saya merasakan energi yang berbeda. Tidak henti mulut dan hati komat kamit membaca doa. Sholawat terutama.

Kang Wit nampak menunggu di depan pintu masuk makam. Alas kaki harus dilepas, meski halaman di depan Makam masih berupa tanah.

Sejenak, darahku berdesir. Melihat tiga Makam di depanku. Beruntung ada satu peziarah yang menuntunku untuk membacakan doa. Mulai Al Fatekhah, hingga Surat Yasin. Nampak fasih, lelaki yang tidak kuketahui identitasnya tersebut seperti seorang ahli ziarah. Dengan lancar dan hikmat dia membaca doa hingga selesai.

Usai berdoa, lelaki itu berkata padaku jika ziarah kubur termasuk sunah Rasulullah SAW. Ziarah kubur memiliki tujuan agar kita bisa mengambil pelajaran atau makna hidup.

“Kita ziarah itu, untuk mengingat akan kematian dan akhirat,” katanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok.

Menurut dia, yang tidak kutanya namanya, dengan ziarah, semua perasaan saat menghadapi permasalahan hidup akan hilang. Diingatkan akan kematian, di mana segala amal perbuatan kita sewaktu di alam dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Baca Juga :  Ngobrol Pinter Seloso Awan, Diskusi Ringan Perempuan Berdaya di Bojonegoro

“Kalau sudah ziarah, kita ini jadi ingat, kalau mati tidak akan membawa apa-apa selain amal di dunia,” ungkapnya.

Setelah mengucapkan terimakasih pada Lek Wit, batinku terkesiap. Kupejamkan mata, dan seperti ada yang memasuki raga ini. Energi positif kurasakan mulai dari ujung kepala hingga kaki.

Telapak tangan yang ngapal (tanganku memang Kapalan, saking seringnya liputan menggunakan motor), mulai terasa dingin karena keringat. Kuucapkan salam bagi seluruh penghuni di Makam tersebut. Kuhadiahkan surat Al Fatihah, dan berdoa kepada Allah SWT, agar tidak ada hal buruk menimpaku. Maklum, aku baru pertama kali ini mengunjungi Makam seorang Wali.

Usai berdoa, aku duduk di depan Lek Wit. Tidak terasa air mataku meleleh. Tanpa sadar, aku menangis. Merasa ada sesuatu dalam hati yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Rasa syukur kepada Allah SWT, bisa datang untuk ziarah di Makam seorang Ulama, Wali, tokoh agama, yang mungkin saya yakin tidak semua generasi muda di Bojonegoro mengenalnya.

“Tidak apa-apa kalau mau menangis, memang tidak banyak pengunjung yang bisa merasakan apa yang panjenengan (kamu) rasakan,” ujar Lek Wit menenangkanku.

Kuteguk air di Kendi yang disodorkan Lek Wit. Segar, dan melalui petunjuknya, aku kembali di kompleks pemakaman, berpamitan dan mengucapkan salam.

Kuturuti permintaan Lek Wit, kuucapkan salam perpisahan pada sang Wali dan dua pengikutnya. Kuhadiahkan sekali lagi berupa doa.

Alfa, tidak bisa mengikuti ritual doa karena tengah datang bulan. Tapi, kami berdua berjanji akan datang kembali. Menguak rasa penasaran atas energi positif yang merasuki tubuhku. Aneh, meski berjalan cukup jauh dan menapaki tangga yang begitu tinggi, kami tidak merasakan lelah sedikitpun. (*Rin)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *