Suaradesa.co, Jakarta – Universitas Paramadina menggelar webinar bertajuk “Pseudo-Spiritualitas, Religius Tapi Gemar Korupsi”, membahas paradoks antara religiusitas tinggi dan maraknya korupsi di Indonesia.
Diskusi ini menghadirkan Prof. Dr. Media Zainul Bahri, Dida Darul Ulum, M.A, dan Dr. phil. Suratno Muchoeri sebagai pembicara.
Agama Sebatas Simbol, Bukan Pedoman Moral
Dr. Suratno menyoroti hipokrisi masyarakat yang menjunjung agama, tetapi tetap permisif terhadap korupsi. Menurutnya, feodalisme dan pemisahan agama dari etika membuat keberagamaan hanya sebatas simbol, bukan pedoman moral.
Islam Pop dan Kapitalisme Religius
Prof. Media menambahkan bahwa fenomena Islam Pop membuat agama lebih menonjolkan identitas simbolik ketimbang nilai moral.
“Banyak tokoh paham agama, tapi tetap korup. Ini bukti agama lebih sering jadi identitas daripada landasan etika,” ujarnya.
Religius, Tapi Korupsi Merajalela
Dida Darul Ulum membandingkan kondisi Indonesia dengan Gotham City dalam trilogi The Dark Knight—negara religius tapi penuh ketidakadilan. Berdasarkan laporan CEOWORLD (2024), Indonesia masuk 7 besar negara paling religius, namun indeks korupsinya masih tinggi.
Transformasi Kesalehan Personal ke Kesalehan Sosial
Para pembicara menegaskan bahwa keberagamaan sejati harus tercermin dalam integritas dan kontribusi sosial, bukan sekadar ritual.
“Kesalehan harus bertransformasi ke kesalehan sosial. Kita butuh pemimpin yang benar-benar bisa diteladani,” tegas Dida.
Webinar ini menegaskan bahwa korupsi bukan sekadar masalah hukum, tapi juga krisis moral yang membutuhkan reformasi sosial, pendidikan, dan keteladanan dari para pemimpin.(red)