Suaradesa.co, Bojonegoro – Pergeseran awal musim kemarau tahun ini berdampak nyata pada kehidupan petani di Bojonegoro, Jawa Timur.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa musim kemarau tahun 2025 bergeser hingga 3–5 dasarian (30–50 hari) dari prediksi semula, khususnya di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Situasi ini membuat petani waswas. Mereka mengaku kesulitan menentukan waktu tanam karena curah hujan masih tinggi di sejumlah kecamatan seperti Baureno, Kanor, Dander, hingga Kalitidu.
“Kalender tanam sudah tidak bisa dipegang,” keluh Slamet (57), petani di Desa Baureno, saat ditemui pada Sabtu (8/6/2025).
“Harusnya Mei akhir sudah mulai tanam jagung, tapi tanahnya masih becek. Kalau dipaksakan tanam, malah bibitnya busuk.”
BMKG sebelumnya menjelaskan bahwa atmosfer masih cukup basah karena aktivitas dinamika tropis seperti gelombang Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan bibit siklon tropis 92W.
Ini memperkuat potensi hujan lokal yang turun secara tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat.
Kondisi ini berpotensi menurunkan produksi pertanian di Bojonegoro termasuk jagung.
Menurut Luluk Hartono, penyuluh pertanian di Kecamatan Dander, musim yang tidak menentu membuat panen sulit diprediksi.
“Kemarau pendek, tanam terlambat, panen pun ikut molor. Ini bisa berpengaruh pada kualitas dan kuantitas hasil panen,” ungkapnya.
Ia menambahkan, beberapa petani yang sudah nekat menanam malah mulai mengalami serangan hama karena kelembaban tinggi.
Salah satu petani di Bojonegoro, Sutarman mengingatkan agar pemerintah daerah segera menyesuaikan kalender tanam berbasis prediksi iklim terbaru dari BMKG.
“Kondisi ini bukan hal baru. Pola iklim sudah semakin tidak menentu akibat perubahan iklim global. Maka respons lokal harus cepat: edukasi ke petani, siapkan skema irigasi, bahkan cadangan pangan kalau perlu,” tukasnya. (red)