Suaradesa.co, Jakarta — Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk “IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?” secara daring pada Senin (28/4/2025). Diskusi ini mengupas berbagai tantangan struktural dan kebijakan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, membuka diskusi dengan menyoroti proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7%, di bawah ambang psikologis 5%. “Ini konsekuensi dari tantangan struktural yang belum terselesaikan dan menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan Presiden Prabowo,” kata Handi.
Meski pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,2% dalam APBN 2025, Handi menilai belum ada terobosan signifikan. Ia menyebut konsumsi rumah tangga yang masih menjadi motor utama pertumbuhan—sebesar 4,9%—sebagai bentuk kerentanan terhadap gejolak global. Di sisi lain, APBN masih memikul beban besar dengan alokasi Rp 750 triliun untuk program prioritas seperti makan bergizi gratis dan Koperasi Merah Putih. “Kita harus belajar dari kegagalan proyek besar di masa lalu akibat perencanaan yang lemah,” tegasnya.
Handi juga menyoroti dinamika global seperti proteksionisme AS, meningkatnya ketidakpastian ekonomi, serta peluang dari kebijakan tarif terhadap produk China, Vietnam, dan Bangladesh. Namun, ia mengingatkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup rapuh, dengan utang negara mencapai Rp 8.000 triliun, de-industrialisasi, dan lemahnya produktivitas. Ia menekankan perlunya komunikasi kebijakan yang baik, teknokrasi yang kuat, dan kapasitas eksekusi yang meningkat.
Kepala Departemen Makroekonomi INDEF, Dr. M. Rizal Taufiqurrahman, turut menyampaikan bahwa proyeksi pertumbuhan global yang menurun—hanya 2,8% untuk dunia dan 3,7% bagi negara berkembang—membuat target 5,2% APBN menjadi berat. Bahkan, menurutnya, target ekonomi 8% yang dibidik hingga akhir tahun tampak tidak realistis. “Indonesia perlu strategi ekonomi yang inovatif dan responsif di tengah melemahnya multilateralisme,” katanya.
Rizal juga memprediksi meningkatnya pengangguran akibat jobless growth dan lemahnya sektor produktif. Ia mendorong pemerintah fokus pada industrialisasi berbasis value chain dan teknologi, termasuk di sektor EV dan semikonduktor.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Dr. Piter Abdullah, menyampaikan keprihatinannya atas tren pelemahan pasar tenaga kerja. “Gelombang PHK yang dimulai 2024 akan semakin besar tahun ini,” ujarnya. Ia menyoroti daya beli masyarakat yang turun, terutama kelas menengah ke bawah, meski ada narasi peningkatan penjualan mobil listrik. “Itu hanya mencerminkan konsumsi kelompok atas,” katanya.
Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, menegaskan bahwa tekanan ekonomi domestik Indonesia kian berat. Ia mengkritisi kebijakan ekonomi yang tidak menjanjikan dan menyoroti risiko dari sistem regulasi yang ruwet. “Ada hampir 19.000 peraturan di tingkat kementerian. Ini menciptakan ekonomi berbiaya tinggi,” ungkapnya.
Yose juga menyinggung keluarnya LG dari proyek baterai kendaraan listrik senilai hampir USD 10 miliar sebagai cermin ketidaksesuaian kebijakan. Ia menutup dengan ajakan untuk mengubah paradigma kebijakan dari pendekatan yang terlalu tertutup dan proteksionis. “Kita harus keluar dari cara pandang inward looking jika ingin menyelamatkan perekonomian nasional,” pungkasnya.(red)