Suaradesa.co, Solo — Pencemaran yang tak kunjung mereda dan kerusakan lingkungan yang terus berlangsung di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo kembali menjadi sorotan.
Dalam Rapat Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup DAS Bengawan Solo yang digelar Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa di The Sultan Hotel Solo, berbagai pihak menilai bahwa pengelolaan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu masih bersifat parsial, sektoral, dan jauh dari tata kelola terpadu.
DAS Bengawan Solo meliputi 18 kabupaten dan 1 kota, mulai dari wilayah hulu hingga hilir seperti Blora, Bojonegoro, Gresik, Tuban, hingga Kota Surakarta.
Luasan wilayah tersebut menuntut koordinasi lintas daerah dan lintas lembaga yang kuat. Namun, hingga kini keselarasan program pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dinilai masih lemah, termasuk belum adanya identifikasi prioritas persoalan lingkungan secara komprehensif.
Forum ini juga menyoroti minimnya pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam penyusunan maupun implementasi kebijakan.
Hingga kini, indikator mutu air yang terukur dan memiliki target jelas pun belum disepakati, sehingga pengendalian pencemaran kerap tidak dapat dinilai efektivitasnya secara akurat.
Ketua IDFoS Indonesia, Joko Hadi Purnomo, yang juga dosen IAI Al Fatimah Bojonegoro, menegaskan bahwa persoalan Bengawan Solo berlarut karena penegakan hukum yang lemah. Ia menilai pencemaran limbah industri sudah berlangsung lama tanpa penurunan signifikan.
“Ini menandakan penegakan hukum belum berjalan efektif,” ujarnya. Tanpa tindakan tegas terhadap pelaku pencemaran, ia khawatir upaya pemulihan DAS hanya menjadi agenda seremonial.
Untuk pencemaran dari industri rumahan hingga rumah tangga, Joko mendorong agar pembangunan IPAL komunal menjadi kebijakan wajib bagi pemerintah daerah.
Menurutnya, negara selama ini terlalu reaktif dan belum memiliki desain kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.
“Pemda perlu hadir secara aktif, bukan hanya sebagai fasilitator administratif,” tegasnya.
Terkait rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), Joko menyoroti perlunya keterlibatan multipihak, termasuk sektor swasta dan filantropi.
Sejumlah perusahaan di wilayah hilir seperti ExxonMobil Cepu Limited, Pertamina EP Cepu, Pertamina EP Zona 11, Perum Jasa Tirta, dan PT Pupuk Indonesia telah memberikan dukungan berupa penyediaan bibit dan pelatihan.
Namun tanpa insentif ekonomi hijau dari pemerintah daerah, upaya itu dinilai sulit berkelanjutan. Pendekatan agroforestry dan agrosilvopastoral disebutnya sebagai strategi ideal karena memadukan pemulihan ekologi dan penguatan ekonomi masyarakat.
Lebih jauh, IDFoS Indonesia mendorong pelibatan filantropi keagamaan melalui skema wakaf hutan untuk memperluas tutupan lahan di luar kawasan hutan negara.
Skema tersebut dinilai mampu memperkuat pembiayaan jangka panjang sekaligus menghadirkan inovasi sosial dalam pemulihan ekosistem.
Untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, Joko juga menekankan percepatan pembentukan Forum DAS (FORDAS) Bengawan Solo di setiap daerah.
Dengan pendekatan hexahelix—melibatkan pemerintah, CSO, pelaku usaha, akademisi, media, dan filantropi keagamaan—FORDAS diharapkan tidak hanya menjadi wadah formal, tetapi ruang kolaborasi kebijakan dan pengawasan publik.
Rapat teknis yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup melalui Pusdal LH Jawa ini menjadi pengingat bahwa mandat perbaikan DAS Bengawan Solo tidak hanya berhenti pada penyusunan rekomendasi.
Menurut para peserta, tantangan terbesar justru terletak pada komitmen dan keberanian pemerintah daerah untuk menegakkan hukum dan menjalankan kebijakan insentif secara nyata demi memulihkan salah satu sungai paling vital di Pulau Jawa itu.(mir/him)






